cerpen "Ibu, deritamu kini telah usai" Tribute For Mother

Tribute For Mother


IBU, DERITAMU KINI TELAH USAI

          “Pak, Rini besok harus membayar uang semester lho, Pak. Kalau terlambat nanti nggak bisa ikut ujian. Saat ini Ibu sudah tidak pegang uang lagi selain untuk belanja kebutuhan sehari-hari. Semua sudah dipakai untuk membayar utang di warungnya bu Sri sama warungnya pak RT.” Sambil mengaduk gula di cangkir kopi pak Seto, bu Rahma menyampaikan permintaan tersebut.
          “Ya. Besok kan bapak sudah gajian,” jawab pak Seto singkat tanpa mengalihkan pandangan matanya dari lembaran koran yang sedang dibacanya.
          Bu Rahma tersenyum lega mendengar jawaban dari suaminya tersebut. Sambil membereskan meja makan, ibu berputra empat itu mencoba mengingat- ingat , kebutuhan apa saja yang harus segera didahulukan, mumpung besok suaminya menerima gaji.
          Meskipun bu Rahma tahu kalau seperti biasanya, gaji yang akan diterima suaminya tidak utuh lagi karena harus dipotong berbagai pinjaman di koperasi kantornya, tapi setidaknya ada yang bisa dipakai untuk membayar kebutuhan sekolahnya anak-anak. Sedangkan gaji dia sendiri sebagai pegawai tata usaha di sebuah sekolah negeri, dialokasikan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.
          “Oya, Pak, si Aris juga bilang sama ibu kalau dia butuh uang untuk mengganti kampas sepeda motornya yang sudah aus. Kemudian Dani dan Sari juga harus membayar buku pelajaran di sekolah mereka. Angsuran buku matematika milik Sari malah sudah nunggak hampir dua bulan ini belum dibayar sama sekali, kasihan dia sampai malu sama teman-temannya,” ucap bu Rahma sambil meletakkan mangkuk sayur di meja makan yang baru saja dibersihkan itu.
          “Iya, catat saja semua yang harus dibayar,” jawab pak Seto singkat sambil melipat lalu meletakkan koran yang baru saja dibacanya itu.
          “Ya, mudah-mudahan saja cukup,” ucap pak Seto setelah menyeruput kopinya.
          Bu Rahma tersenyum lagi. Wanita berbadan subur itu merasa lega. Dalam pikirannya, setidaknya untuk bulan ini dia tidak perlu berutang lagi untuk mencukupi kebutuhan pendidikan anak-anaknya.  

**

          Sore itu, sambil berjalan tergopoh-gopoh memasuki rumah setelah memarkir sepeda motornya, pak Seto berteriak memanggil-manggil istrinya. Bu Rahma yang sedang mencuci piring pun langsung menghentikan aktivitasnya dan pergi menghampiri suaminya.
          “Oalah, Bu, amblas semua, hilang, muspro, raib semua uang gaji bapak, Bu,” ratap pilu pak Seto sambil terduduk di lantai.
          Serasa bagai palu godam menghantam kepalanya, bu Rahma pun berkunang-kunang. Mulutnya terkatup rapat, tetapi matanya terbelalak sampai terasa mau lepas. Jantungnya berdegup kencang, nafasnya seperti terhenti, tercekat di tenggorokan.
          Tubuh bu Rahma pun lunglai, selunglai tubuh suaminya yang bersimpuh di lantai. Campur aduk perasaannya, sedih ataukah marah, antara mau menangis ataukah berteriak.
          Akhirnya bu Rahma pun sama-sama bersimpuh di lantai mendekati suaminya itu. Tanpa menunggu pertanyaan dari istrinya, penjelasan pun meluncur dari mulut pak Seto.
          “Sepeda motor bapak tadi serempetan sama sepeda motor orang, Bu. Bapak terjatuh karena terperosok lobang yang cukup dalam di pinggir jalan dekat lapangan itu. Orang yang nyerempet bapak juga jatuh, tapi tidak apa-apa. Sepeda motor kami juga tidak apa-apa. Sudah damai, tidak ada masalah apa-apa. Setelah orang itu pergi, bapak baru sadar kalau amplop gaji yang bapak letakkan di saku kemeja bapak tidak ada, Bu. Bapak sudah bolak-balik mencari di sekitar tempat bapak jatuh tadi, tetapi tetap tidak ketemu. Apa mungkin diambil sama orang yang nyerempet bapak tadi, ya?” ucap pak Seto menjelaskan kronologis kecelakaan yang baru saja menimpanya.
          Bu Rahma tak sanggup mencerna dengan baik penjelasan suaminya itu. Dia hanya memikirkan kesulitan keuangan yang akan segera menderanya. Plak! Tiba-tiba saja seperti ada yang yang menampar dengan keras pipinya. “Astagfirulloh,” ucap bu Rahma beristighfar.
          “Sudahlah, Pak. Yang penting bapak tidak apa-apa. Apakah ada luka serius, Pak?” tanya bu Rahma sambil memeriksa tubuh suaminya itu. Wanita itu pun merasa lega manakala tidak didapatinya luka ataupun memar di tubuh lelaki pendamping hidupnya itu, meskipun di dalam hatinya perasaan sedih dan kecewa tak dapat dihilangkannya. Tapi mau bagaimana lagi, semuanya telah terjadi.
**

          “Bu, bapak mau keluar sebentar, ya. Bapak mau ke rumahnya pak Aji, siapa tahu beliau bisa membantu memberi pinjaman kepada kita. Mungkin bapak juga mau ke tempatnya pak Heru, kawan bapak SMA dulu. Kalau saja pak Aji tidak dapat membantu, pak Heru mungkin bisa kuandalkan,” pamit pak Seto kepada istrinya.
          “Kunci rumah, kubawa, Bu. Siapa tahu sampai larut malam baru bisa pulang. Ibu tidur saja, tak usahlah menunggu bapak,” ucap pak Seto kemudian.
          Bu Rahma mengangguk. Bu Rahma kemudian teringat akan utangnya kepada salah satu adiknya yang tinggal di ibu kota. Dia dulu berutang untuk membayar uang pangkal kuliahnya Rini. Meskipun adik bu Rahma mengatakan bahwa utang itu bisa dibayar kapan saja, tetapi rasanya kok tidak enak kalau nyicilnya saja tidak lancar.
**

          Di sebuah warung remang-remang di ujung sebuah desa yang letaknya cukup jauh dari kediaman bu Rahma, terlihat sosok pak Seto sedang tertawa terbahak-bahak dengan botol tuak di tangannya, sedangkan di pangkuannya duduk seorang wanita dengan pakaian ketat dan rok mini. Di sekitarnya, duduk lelaki-lelaki lain dengan tingkah polah serupa dengannya. Kartu-kartu remi, botol-botol tuak, dan lembaran-lembaran uang bertebaran di atas meja.
          Sungguh tak disangka, ternyata pak Seto sedang bermaksiat. Rupanya cerita tentang kecelakaan yang menimpanya itu hanyalah kebohongan belaka. Uang gaji pak Seto raib di meja judi dan untuk memanjakan para perempuan penjaja cinta itu.
          Tak cukup sampai di situ, pak Seto masih melanjutkannya dengan arena perjudian lain, salah satunya dengan mempertaruhkan uangnya melalui judi toto gelap atau yang lebih dikenal dengan sebutan judi togel.
          Hampir tiap malam pak Seto menghabiskan waktunya di tempat maksiat itu. Kalaupun berada di rumah, judi togelnya tetap berlangsung melalui ponsel. Hari-harinya semakin kelam, kebohongan demi kebohongan terus direkanya agar perbuatannya itu tidak diketahui oleh sang istri.
**

          Namun, yang namanya bangkai, meskipun disembunyikan sedemikian rapat, baunya pasti akan tercium juga. Pun demikian dengan ulah pak Seto ini. Lambat laun bu Rahma pun mengetahuinya juga. Hal ini karena semakin banyak orang yang datang ke rumah mereka untuk menagih utang.
          Selama itu, pak Seto kerap berbohong dengan berbagai alasan kepada istrinya perihal gajinya yang tak pernah dia terima. Awalnya bu Rahma masih percaya, namun karena lama-kelamaan alasan yang dibuat suaminya itu terlalu mengada-ada sehingga bu Rahma pun sulit untuk percaya dan mulai mencium bahwa ada yang tidak beres dengan perilaku suaminya itu.
Selama itu pula, bu Rahma tidak pernah lagi menerima sepeserpun gaji suaminya. Semua biaya hidup dan biaya sekolah anak-anaknya, dialah yang mengusahakannya sendiri. Bu Rahma mulai berjualan apa saja yang bisa dijual, bahkan membuat es mambo yang dititipkan ke sekolah-sekolah. Bila sudah sangat mendesak, berutang pun dilakukannya. Meskipun selalu digelayuti perasaan malu, namun demi anak-anaknya bisa lancar bersekolah, apapun bu Rahma lakukan.
Entah, setan apa yang merasuki jiwa pak Seto sehingga tega melepaskan tanggung jawabnya terhadap keluarga yang seharusnya dia naungi. Semakin hari, lelaki itu semakin tak peduli dengan keluarganya. Bahkan ketika bu Rahma tergolek lemas tak berdaya karena penyakitnya.
**
          Rini dan ketiga adiknya duduk terpekur memanjatkan doa demi doa bagi kesembuhan sang ibu yang sedang kritis. Tetapi, menurut dokter, kondisi ibunya itu sudah sangat lemah dan tidak dapat dilakukan upaya apapun untuk memperpanjang usianya. Tentu saja hatinya berontak, dia masih sangat menginginkan kehadiran sang ibu. Namun, kemudian dia tersadar, mungkin ibunya sudah sangat lelah dengan beratnya penderitaan yang harus ditanggungnya.
          Rini pun kemudian berbisik di telinga sang ibu, “Kami ikhlas bila ibu harus pergi meninggalkan kami, Ibu. Ibu pasti akan lebih bahagia bila berada di sisi Allah. Biarlah Rini yang akan menjaga adik-adik. Kami minta maaf bila selalu menyusahkan ibu, ya. Kami pun telah memaafkan seluruh kesalahan ibu. Ah, bahkan ibu tak punya salah apa-apa kepada kami. Sudahlah, Bu. Ibu tenang-tenang saja, tak perlu lagi memikirkan beratnya hidup ini.”
**

             
Cerpen ini pernah diikutsertakan dalam sebuah kompetisi menulis, namun kemudian saya mengundurkan diri karena ternyata saya dimintai sejumlah dana yang saya nilai jumlahnya tidak wajar.
Kecewa. Itu pasti. Namun bukan berarti saya lantas berputus asa, apalagi sampai berhenti menulis.

Ada hikmah yang bisa saya ambil. Ke depan, saya akan tetap terus menulis lebih baik lagi dan berusaha untuk lebih selektif lagi dalam mengikuti kompetisi serupa.

Komentar

  1. Penasaran akhirnya p seto bagaimana

    BalasHapus
    Balasan
    1. rencananya cerita ini mau dikembangkan menjadi novel, mbak. entah belum tahu kapannya..he..he.. tapi sudah ada outlinenya.

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara Merawat Buku yang Rusak Akibat Terlalu Lama Disimpan

4 Alasan Kenapa Harus Melakukan Pre-Launching Produk

Review: Biolage Scalp Refresher, Serum Rambut dengan Sensasi Dingin Menyegarkan