LAGI-LAGI KARENA JOKOWI



Hari memang masih sangat pagi, namun aku sudah harus berada di bandara. Di sebuah ruang tunggu penumpang, seorang wanita cantik berkacamata datang menghampiri dengan senyum mengembang,
“Mbak Rara, kan? Inget sama Desy (bukan nama sebenarnya) nggak, mbak?”
“Inget dong,” ucapku sambil menyambut uluran tangannya.
Seperti kebanyakan perempuan lain kalau lama nggak saling ketemu, kami pun berpelukan dan disambung dengan cipika cipiki.
“Masih tinggal di Jakarta, Mbak?” tanyanya.
“Enggak. Aku di Palembang sekarang,” jawabku singkat.
“Wah, gue mau ada acara kantor nih, di sana. Ntar temenin cari oleh-oleh ya, Mbak,” pintanya.
“Oke,” jawabku.
“Kalau kamu stay di mana nih, sekarang?” lanjutku bertanya.
“Masih di Jakarta, Mbak. Kerjaan di Jakarta, dapet suami orang Jakarta. Ya udin deh, jadi warga Jakarta gue,” jawabnya.
Tak lama kemudian, kami pun saling bertukar nomer kontak.
           
 Desy adalah teman satu kos sewaktu aku dulu masih tinggal di daerah Benhil, Jakarta. Tak banyak yang berubah dari dirinya. Wajahnya yang selalu sumringah membuatnya masih nampak segar meski usianya sudah tak lagi muda.

 “Mbak, Lu masih inget sama si Joe(juga nama samaran), nggak?” tanyanya memecah keheningan.
“Joe yang pacar kamu itu? Yang sering kamu ajak ke Kos-an itu? Yang wangi banget itu, kan?” tanyaku bertubi-tubi.
“Ih, Lu inget aja, mbak sama wanginya?” ucapnya sambil tersenyum lebar.
“Iya lah. Habisnya tiap doi dateng ke kos, otomatis aku langsung ngecek botol parfumku. Kirain kalau tumpah, gitu,” ujarku diiringi dengan derai tawa kami.

“Dia sekarang tinggal di Palembang juga lho, Mbak,” ucapnya.
“Dan udah jadi duda,” lanjutnya mencoba mengejutkanku dengan informasinya itu.
Sebenarnya aku nggak terlalu terkejut sih, lha wong kenal baik juga enggak. Tetapi karena si Desy yang lagi nyeritain mantan pacarnya itu, otomatis aku jadi penasaran juga, dong.
           
 “Jadi, kamu ke Palembang mau ketemuan sama doi, nih?” Tanyaku  menggodanya.
“Ih, enggak lah ya. kami udah end. Bener-bener end,” ucapnya dengan nada gemas.
“Tahu nggak sih, mbak. Gue tuh pernah selingkuh sama doi,” ucapnya betul-betul mengejutkanku kali ini.
“Cuma selingkuh hati sih, mbak. Nggak sampai selingkuh fisik,” ujarnya mencoba meredakan keterkejutanku.
Aku langsung membayangkan wajah suami dan anak-anaknya yang tadi fotonya sempat dia tunjukkan kepadaku.
“Lu, jangan dulu bayangin yang enggak-enggak, Mbak,” ucapnya mencoba membela diri padahal aku tidak mengucapkan sepatah katapun untuk menunjukkan kesalahannya.
“Kejadiannya juga nggak disengaja sih, Mbak. Kita ketemuan lagi waktu ada acara gathering . Secara, gue sama doi kan masih satu kantor meskipun beda cabang. Nah, sejak saat itu, hubungan kami jadi intens lagi meskipun hanya melalui BBM. Singkatnya, benih-benih cinta tumbuh kembali. Apalagi, doi juga sudah jadi duda,” ujar Desy menceritakan awal kisah selingkuhnya dengan si mantan.
            
Dada ini langsung penuh dengan celaan yang ingin kuungkapkan kepadanya. Bagaimananpun juga, di mataku, temanku ini berada pada posisi yang salah. Namun semua celaan itu hanya kupendam saja. Kubiarkan dia menuntaskan dulu kisahnya.
           
 “Apalagi pada saat itu hubungan gue dengan suami juga lagi renggang sih, Mbak. Suami gue tuh ya, kalau sudah asyik dengan hobbynya suka sampai lupa dengan keluarga. Istri mana yang nggak kesel coba? Mana mama mertua selalu membela anak kesayangannya. Jadi ya gitu, deh. Hubungan kami hambar seketika,” ujarnya lagi.
            
Lagi-lagi aku ingin menegurnya. Tetapi kuurungkan niatku itu. Aku sadar, dia tidak sedang ingin mendengar nasehatku. Dia hanya ingin menuturkan kisahnya.
            
“Si Joe tuh ya, Mbak. Memang paling ngertiin gue. Kalau soal yang ini, Joe memang nggak ada yang ngalahin. Tetapi gue nggak pernah nyesel putus sama doi, habisnya doi kan posesive banget sama gue. Dulu, doi tuh terlalu mengekang gue. Gue masih inget banget, itu adalah alasan utama gue waktu dulu mutusin doi,” ucap Desy sambil matanya menerawang, seperti sedang membayangkan kejadian belasan tahun silam.
            
“Namanya juga terpercik api cinta yang dulu sempat padam, meskipun terpisah lautan, hampir setiap saat doi ngubungin gue. Gue juga gitu, Cuma kalau gue kan harus lebih waspada, ya. Secara, ada misoa gitu lho,” ucapnya diikuti dengan tawa kecilnya.
Aku hanya tersenyum, itupun dengan sedikit memaksakan. Tak ada yang lucu bagiku. Apanya yang mau ditertawakan?
            
“Bener-bener kayak abege baru jatuh cinta, gue suka cemburu lho kalau si Joe memposting foto bersama teman-teman ceweknya. Ya udin, gue bales aja dengan memposting balik foto mesra gue dengan suami. Tahu nggak, Mbak, seperti apa reaksinya?”
            
“Doi marah-marah, Mbak,” ucap Desy menjawab sendiri pertanyaan yang tadi sempat dilontarkan kepadaku.
“Pokoknya gue sama doi udah seperti orang pacaran deh, Mbak. Saling stalking akun seperti tak ingin ketinggalan informasi sedikitpun. Herannya, tiba-tiba aja doi ngejauhin gue, Mbak. Ya, gue bingung lah. Emang gue salah apa kok doi jadi mendadak menghindar gitu? Gue penasaran sekaligus was-was juga. Jangan-jangan hubungan gue sama doi sudah terendus suami?” tuturnya.
            
Aku tersenyum mendengar penuturan kisahnya itu. Baguslah kalau Joe kemudian menghindari Desy yang statusnya adalah istri orang itu. Mungkin dia menyadari kesalahannya dan ingin menghindar.
            
“Mbak, Lu tahu nggak alasan sebenarnya kenapa si Joe sampai menjauhi gue?” tanyanya tiba-tiba.
Aku hanya menggeleng sambil menatap matanya, mencari jawaban yang kuyakin akan segera disampaikannya kepadaku.
“Karena gue Jokower, Mbak,” ucapnya diikuti dengan derai tawanya.
“What?” ucapku tak dapat menutupi rasa terkejutku.
“Iya. Gue emang tahu kalau doi tuh fans fanatiknya si number one. Tapi kan pilpres udah lama berlalu, ya. Lagi pula gue bingung juga mau nyambung-nyambungin reasson doi tuh maksudnya gimana, gitu,” ucapnya dengan dahi berkerut.
“Gue tahu kalau doi demen posting, share, bahkan komen yang menyatakan kekagumannya sama si number one itu. Bagi gue sih hal itu nggak ngaruh apa-apa sama perasaan gue ke doi. Nggak tahu kalau ternyata doi sensitive banget kalau sudah menyangkut pujaan hatinya yang ini. He..he.. baru nyadar gue kalau ternyata gue bukan pujaan hatinya,” ujarnya sambil tertawa kecut.
“Padahal gue juga nggak pernah nunjukin kalau gue tuh Jokower setia, lho. Tapi ya, namanya juga medsos ya, mbak. Kadang gue nggak sadar kalau like gue ke postingan yang berpihak kepada pemerintah bisa terbaca oleh teman di friendlist kita,” ucapnya lagi.
“Dari situlah kemudian gue merasa bersyukur banget, Mbak. Tuhan menunjukkan kesalahan yang telah gue lakukan dengan cara ini. Tak ada yang tahu hubungan yang sempat  terjalin antara gue dengan Joe selain gue, Joe dan Tuhan, tentu saja sekarang Lu juga termasuk, Mbak,” ucapnya sambil mencubitku.
            
Terus terang, saat itu aku jadi bengong, melompong kayak kepompong. Apaan sih ini? Banyak pertanyaan berputar-putar di benakku yang ingin kuutarakan kepadanya. Tetapi panggilan untuk segera masuk ke dalam pesawat membatalkan semua tanya itu.



Komentar

  1. Hahaha, sama, saya juga jadi bengong melompong mba rara

    BalasHapus
    Balasan
    1. Untung nggak kayak kepompong yak😄😄😄

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara Merawat Buku yang Rusak Akibat Terlalu Lama Disimpan

4 Alasan Kenapa Harus Melakukan Pre-Launching Produk

Review: Biolage Scalp Refresher, Serum Rambut dengan Sensasi Dingin Menyegarkan