BALADA UTANG
Bu Hartinuk tidak ingat, untuk keperluan apa bu Lestari meminjam uangnya
sekira dua tahun yang lalu itu. Yang bu Hartinuk ingat, saat itu bu Lestari
setengah mendesaknya dengan wajah yang sangat mengiba. Bu Hartinuk merasa tidak
tega, sehingga perasaan wanita itu tersentuh dan tidak dapat menolak untuk memberikan
pinjaman kepada bu Lestari. Padahal pada saat itu sebenarnya bu Hartinuk juga sedang
tidak punya uang lebih, dia mengambil sebagian uang belanjanya untuk membantu
bu Lestari.
"Nanti kalau suami saya sudah gajian, akan segera saya
kembalikan, Bu," demikian janji bu Lestari yang selalu bu Hartinuk ingat.
Satu bulan berlalu, tanggal gajian suami bu Lestari yang seorang
pegawai kecamatan itu pun telah berlalu, bu Lestari belum juga mengembalikan
uang pinjamannya dengan alasan masih banyak kebutuhan yang harus diutamakan. Bu
Hartinuk pun mencoba memahami.
Dua bulan, tiga bulan, sampai akhirnya satu tahun pun telah berlalu,
sama sekali tidak ada tanda-tanda dari bu Lestari akan mengembalikan uang
pinjamannya. Bu Lestari seakan selalu menghindar bila bertemu dengan bu
Hartinuk.
Sungguh, bu Hartinuk sebenarnya sangat tidak nyaman dengan keadaan
seperti ini. Andai saja bu Lestari mau berterus terang, mungkin bu Hartinuk
akan memakhlumi. Tapi dengan menunjukkan sikap yang selalu menghindar seperti
itu justru membuat keadaan menjadi tidak nyaman.
Dua tahun pun akhirnya telah berlalu, dan nasib uang bu Hartinuk yang
dipinjam bu Lestari itu masih tidak ada kejelasan, akankah kembali atau tidak.
Mau mengikhlaskan, rasanya kok sulit ya? Apalagi sebenarnya bu Hartinuk juga
sedang sangat butuh. Mau nagih saja, lha kok malah merasa jadi seperti monster
yang harus dihindari.
Ealaaaahh…
Ealaaaahh…
Bu Hartinuk masih ingat betul, bu Lestari bilangnya itu pinjam, bukan
minta. Jadi ya wajar ya, kalau bu Hartinuk masih sangat mengharapkan uang yang
dipinjam bu Lestari itu akan segera dikembalikan.
Perlahan-lahan, bu Hartinuk mencoba sedikit melupakan. Maksudnya,
supaya hubungan pertemanan mereka kembali seperti dulu, tanpa beban. Maka, bu
Hartinuk pun mencoba seolah-olah seperti tidak terjadi apa-apa. Meskipun
sebenarnya masih ada rasa dongkol setiap melihat wajah bu Lestari. Bu Lestari
pun tampaknya sudah mulai lupa. Santai saja dia bersikap.
Bu Lestari yang memang sangat supel orangnya, pintar
menarik perhatian ibu-ibu lain dan membuat bu Hartinuk menjadi seperti terkucilkan
di dalam grup arisan rt kampung mereka. Ealaaah, kasihan bener ya bu Hartinuk
ini.
**
Untuk meramaikan acara hari kemerdekaan, grup arisan
ibu-ibu rt mereka ini mengikuti audisi paduan suara di TVRI. Namanya rezeki,
mereka lolos audisi dan akan segera mengikuti syuting. Supaya terlihat kompak,
mereka pun mulai mendesain penampilan mereka. Bu Lestari yang paling modis di
antara mereka, langsung mengambil kendali pemilihan kostum. Dia mulai sibuk
hunting kostum.
Setelah ketemu sama yang pas, mulailah acara pengumpulan
iuran. Bu Lestari meminta kepada ibu-ibu agar mengumpulkan uang terlebih dahulu
agar bisa segera dibelanjakan. Sudah betul cara yang diambil bu Lestari. Memang
harus seperti ini, selain tidak diperlukan dana talangan, juga supaya tidak ada
masalah di kemudian hari.
Mengetahui hal tersebut, bu Hartinuk pun seperti
mendapatkan angin segar untuk menyelesaikan permasalahannya dengan bu Lestari.
Tak sadar, bu Hartinuk tersenyum lega.
Sore itu, bu Lestari mendatangi bu Hartinuk untuk meminta
uang iuran kostum. Tak sabar, bu Hartinuk pun segera berujar, "Maaf bu
Lestari, bu Lestari kan masih ada 'rasan' sama saya ya, jadi tolong dibayarkan
saja untuk kostumnya, kalau kurang, nanti saya tinggal nambah kekurangannya
saja, kalau lebih, ya sudah, biarkan saja, saya ikhlasin."
Lancar bu Hartinuk mengucapkan kalimat yang selama ini telah mencekat pita
suaranya.
Tapi tak disangka, bu Lestari mendadak merah padam mukanya, kemudian meluaplah
amarahnya.
"Bu Hartinuk ini sungguh tak punya perasaan ya, lalu darimana saya bisa
membayarnya? Lagi pula saya lupa kalau ada 'rasan’ sama sampeyan. Emang ada ya?
Ya sudah...sudah..."
**
"Buk ibuk, pengadaan kostumnya, sepertinya bakal
jadi tersendat deh," ucap bu Lestari kepada ibu-ibu kampung Lebak Ijo yang
sedang berkumpul di balai desa untuk berlatih paduan suara.
"Memangnya ada masalah apa, bu Lestari?" tanya
bu Mirna.
"Ini, ada anggota kita yang nggak bisa bayar kostum,
lalu minta saya buat nalangin dulu. Lah, saya uang dari mana, gitu lho,"
jawab bu Lestari.
"Siapa itu, bu?" tanya bu Sundari penasaran.
"Itu, istrinya pak Lukito," jawab bu Lestari.
"Ooh, bu Hartinuk, maksudnya?" tanya bu Sundari
lagi.
"Lha iya, istrinya pak Lukito siapa lagi kalau bukan
bu Hartinuk?" jawab bu Lestari sambil menjab- menjeb.
"Ya sudah tho, Bu, kalau memang dia nggak bisa bayar
dan nggak ada yang bisa nalangi, ya nggak usah diajak saja," ucap bu
Triani tiba-tiba urun suara.
"Toh, berkurang satu orang anggota nggak terlalu
berpengaruh kepada penampilan kita nanti," katanya lagi.
"Tapi bu Hartinuk itu termasuk anggota yang suaranya
cukup merdu, lho buk ibuk," ucap bu Mirna mengingatkan.
"Halah, kita kan sudah lolos audisi, jadi saya rasa
nggak akan ada masalah kalau anggota kita minus satu," tampik bu Triani
lagi.
"Betul. Saya setuju sekali dengan pendapat bu
Triani," ucap bu Lestari dengan senyum mengembang.
Dari balik tembok, bu Hartinuk dapat mendengar semua
percakapan ibu-ibu tersebut. Telinganya memerah, hatinya pun mendidih. Ingin
rasanya berontak, menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Tapi dia urung
melakukannya.
Akhirnya, bu Hartinuk pun membalikkan badannya, dan
melangkah gontai meninggalkan balai desa. Sepanjang jalan, tak hentinya dia
mengutuki dirinya yang bahkan tak sanggup membela dirinya sendiri.
"Lho, kok sudah pulang, Bu? Katanya mau latihan
paduan suara?" tanya pak Lukito kepada istrinya, ketika dilihatnya sang
istri kembali ke rumah.
"Latihannya batal, Pak," jawab bu Hartinuk
sedikit berbohong kepada suaminya.
Namun pak Lukito tidak serta merta percaya begitu saja,
apalagi sesudah itu dilihatnya sang istri selalu gelisah, apa yang
dikerjakannya selalu saja salah.
"Ada apa, to, Bu? Bapak lihat Ibu kok murung
sekali. Gula di dalam teh Bapak saja sampai lupa Ibu aduk. Tadi Bapak juga
lihat Ibu melamun di dapur," tanya pak Lukito kepada istrinya saat mereka
tengah duduk berdua di beranda rumah.
Gundah di dada bu Hartinuk yang tengah sesak kian
mendesak, hingga akhirnya luapannya tak tertampung lagi. Bu Hartinuk memutuskan
untuk menceritakan semuanya kepada suaminya itu.
"Tak habis pikir aku, Pak. Tega-teganya bu Lestari
memutar balikkan fakta seperti itu. Aku bahkan tak sanggup membela diriku
sendiri. Aku khawatir tidak dapat menahan emosi, Pak. Lalu aku harus bagaimana,
Pak?" tanya bu Hartinuk meminta saran dari suaminya itu.
"Ibu juga salah, sih. Kan sudah sering bapak bilang
untuk tidak usah memberikan pinjaman uang kepada teman. Bukan karena pelit,
tetapi untuk menjaga hubungan baik. Supaya terhindar dari masalah-masalah,
contohnya ya seperti masalah yang sedang Ibu hadapi ini, " kata pak
Lukito.
"Bapak ini, sudah tahu istrinya sedang sedih, sedang
tertekan seperti ini kok malah disalah-salahin, to, Pak?" protes bu
Hartinuk kepada suaminya.
"He...he...maafin Bapak, Bu. Bapak nggak peka,"
ucap pak Lukito sambil merangkul pundak istrinya.
"Begini, Bu. Sebaiknya Ibu mencari pihak ketiga yang
netral, Bu. Menurut bapak, bu RT-lah orang yang cocok. Bagaimana pun juga, dia
dan pak rt kan bertanggung jawab terhadap warganya yang sedang
berselisih," pak Lukito mencoba memberi saran buat istri tercintanya ini.
"Baik, Pak. Besok akan Ibu coba," ucap bu
Hartinuk. Dia pun mulai merancang-rancang kalimat seperti apa yang hendak disampaikannya
nanti kepada bu RT. Makhlum, bu Hartinuk ini bukanlah tipikal orang yang pandai
berkata-kata. Dia khawatir akan salah ucap kalau saja tak dirancang dulu apa
yang akan dia sampaikan nanti.
Sore itu, bu Hartinuk menemui bu RT. Dia mencoba
menjelaskan apa yang sesungguhnya terjadi.
"Jadi, bukan saya tidak mau membayar kostum, Bu. Saya
hanya mencoba meminta hak saya, dengan cara meminta bu Lestari membayarkan
kostum saya dengan uang pinjamannya yang belum juga dikembalikan kepada
saya," jelas bu Hartinuk mencoba meyakinkan bu RT.
"Baiklah, Bu. Nanti akan saya coba tengahi. Kita
harus bertemu bersama, Bu. Saya, Anda, juga bu Lestari. Supaya permasalahan
menjadi jernih. Ibu tidak perlu khawatir, selama suami saya masih menjadi ketua
RT, nama baik Ibu akan kembali bersih," janji bu RT.
Bu Hartinuk merasa sedikit lega. Ucapan bu RT barusan,
bagaikan tetes hujan yang membasahi tanah gersang. Sangat melegakan dan membuat hatinya kembali sejuk.
"Sebagai pelajaran bersama, Bu. Lain kali kalau mau
memberi utang, sebaiknya melibatkan orang ketiga sebagai saksi, Bu. Bila
perlu, ada hitam di atas putih. Paham, ya, Bu? Bukan sok-sok an atau apa, hal
ini untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan seperti ini, Bu,"
ucap bu RT memberikan saran.
Bu Hartinuk mengangguk, kemudian tersenyum dan merangkul
bu RT sambil mengucapkan terima kasih.
Sesampainya di rumah, bu Hartinuk menceritakan semua
kepada suaminya.
"Untuk ke depannya, Bu. Lain kali, tidak ada salahnya
kalau ada yang mau berutang, selidiki dulu alasannya. Pertimbangkan juga
kondisi dan watak si peminjam. Meskipun teman dekat, tetangga, bahkan saudara,
kalau punya kredibilitas buruk dalam menangani utang, ya nggak usah diberi
pinjaman. Ada atau tidak ada, bilang saja kita sedang tidak ada uang. Terkadang,
kita perlu tutup mata dan tutup hati juga, sih, Bu. Lain ceritanya kalau yang nembung sama kita itu orang yang
benar-benar tidak mampu, sebisa mungkin kita kasih tanpa mengharapkan apa-apa,
alias kita niatkan sedekah. Begitu, Bu. Paham, ya istriku?" ucap pak
Lukito panjang lebar sambil membelai mesra rambut hitam istrinya.
**
SOLUSI
BIAR BISA LANCAR BAYAR UTANG
Kisah
inspiratif berjudul 'balada utang' itu sejatinya hanyalah kisah fiktif yang
terinspirasi dari kisah nyata.
Mengadakan
dana buat membayar utang itu sebenarnya prinsipnya sama dengan menabung, yaitu
'menyisihkan' bukannya 'menyisakan'. Karena kalau menunggu ada sisa, biasanya
ya enggak bakal ada.
Jadi,
meskipun penghasilan Anda itu enggak tentu, tetap bisa kok lancar bayar utang.
Yang paling penting itu menanamkan niat dulu. Anda harus punya kemauan yang
kuat untuk benar-benar mau melunasi utang. Setelah itu, baru dihitung. Hitungannya
juga sederhana saja. Enggak perlu ilmu tinggi, enggak harus jadi pakar keuangan
dulu, yang penting mengerti ilmu dasar berhitung, yaitu tambah, kurang, kali
dan bagi. Itu saja.
Oke
deh, saya ajari step by stepnya.
Pertama, ingat-ingat, kapan Anda harus bayar utang.
"Lha dalah, ternyata hari ini. Tapi bagaimana, ya… belum ada uang buat
bayar utangnya.”
Kalau begitu, hari ini juga Anda harus temui teman Anda itu, katakan terus
terang kalau Anda belum bisa bayar utang. Jangan digantung. Kasihan,
temannya. Yang pasti dia juga berharap pada Anda, lho. Janjikan padanya kapan Anda akan melunasi. Misalnya sebulan lagi. Itu berarti dalam sebulan ke depan Anda harus benar-benar menyiapkan uangnya, ya. Jangan biasakan mblenjanji janji. Kata orang jawa, “Ora ilok.”
Kedua,
mulai menghitung. Misalnya, utang Anda ada 300.000. Dalam sebulan itu ada 30 hari,
kan? Ya, tinggal dibagi saja. Ketemu 10.000 kan? Berarti jumlah itu yang harus Anda sisihkan setiap hari. Disisihkan betul, ya. Kalau Anda itu tipe orang yg
mudah tergoda, coba taruh uangnya di tempat yang primpen, yang nggak bisa dibuka-buka. Kalau Anda disiplin, setelah 30 hari maka akan terkumpul 300.000. Iya, kan?
Ketiga,
Segera bayarkan kepada teman Anda itu. Bila perlu, bawa sewadahnya, dudah bareng, itung bareng, biar teman Anda itu yakin dengan usaha Anda, sehingga dia
menaruh rasa percaya kepada Anda. Eehh...siapa tahu Anda nanti butuh minjem lagi sama
dia, dia sudah percaya kalau Anda orang yang bertanggungjawab. “Penak to???”
Begitu
saja sih, solusi yang bisa saya berikan.
Simpel. Mudah-mudahan bermanfaat yaa.
Oya,
satu lagi. Sesempit apapun kondisi Anda, tetaplah bersedekah. Luruskan niatnya,
sedekah bukan agar utang Anda bisa lunas, tapi sedekah itu untuk mencari berkah
dari Gusti Allah. Karena ketika kita bersedekah, selalu akan terselip rasa
syukur di situ. Kita akan dituntun oleh Gusti Allah untuk melihat, bahwa
semenderitanya kita, masih ada yang lebih menderita dari kita. Sesusah-susahnya
kita, masih banyak yang lebih susah dari kita.
Hmm…seandainya
saja bu Lestari membaca tips di atas, ya?
UTANG ANDA ADALAH AMANAH ANDA
Utang
memang tidak dianjurkan, tetapi juga tidak dilarang.
Kata orang, utang memang kerap membuat seseorang menjadi tak bisa tidur nyenyak karena selalu dirundung gelisah.
Kata orang, utang memang kerap membuat seseorang menjadi tak bisa tidur nyenyak karena selalu dirundung gelisah.
Apakah utang Anda menjadi beban dalam hidup Anda?
Sebenarnya
hal itu tak perlu terjadi kalau saja Anda mau merubah pandangan Anda tentang
utang. Jangan jadikan utang Anda sebagai beban, kawan. Tapi jadikanlah utang Anda itu
sebagai amanah.
Kok
bisa?
Bisa.
Sekarang saya mau tanya, apa yang akan Anda lakukan ketika mendapatkan amanah?
Misalnya saja Anda mendapat amanah untuk menjadi kepala sekolah. Apa yang akan Anda lakukan? Tentu saja Anda menginginkan yang terbaik untuk sekolah yang Anda pimpin, kan? Mencetak siswa yang berprestasi, menciptakan lingkungan sekolah yang
menyenangkan, dan hal baik lainnya. Anda akan memegang tanggungjawab yang
diamanahkan kepada Anda itu dengan sebaik mungkin, kan?
Demikian juga sebaiknya dalam memperlakukan utang. Kalau Anda menganggap
utang Anda adalah amanah Anda, maka Anda akan memegang tanggungjawab Anda dengan
perasaan yang lebih ringan. Insyaallah.
Kalau
seseorang sudah terlanjur punya utang, semestinya memang ya konsisten untuk
melunasi.
Coba diingat lagi, apa saja yang Anda pikirkan sewaktu dulu melakukan akad utang piutang?
Coba diingat lagi, apa saja yang Anda pikirkan sewaktu dulu melakukan akad utang piutang?
Karena benar atau salah utang Anda itu sudah ada sejak masih dalam pikiran Anda.
Semoga
pembaca dapat mengambil hikmah dari tulisan ini, sehingga sikap-sikap tak
menyenangkan seperti yang ditunjukkan oleh bu Lestari pada contoh cerita di
atas tidak pernah terjadi.
Komentar
Posting Komentar