BEAUTIFUL LIVING PLAIN




“Mami, mobil mami dijual ya, Mi?” pelan suara kak Riko menyampaikan usulannya itu, namun bagai petir menggelegar di telingaku.
“Kok, mobil mami. Kenapa nggak mobil papi saja,” protesku.
Aku tahu, dia pasti sedang mengalami kesulitan dana sehingga sampai mengusulkan untuk menjual mobil. Tapi kenapa harus mobilku?
“Papi akan iklankan juga mobil papi, tapi harapan kita ada di mobil mami. Mobil mami kan masih baru, masih lebih mudah menjualnya, lebih cepat laku bila dibandingkan dengan menjual mobil papi. Mobil papi ini susah lakunya, Mi. Dikatakan mobil tua, kok belum tua sekali, jadi kecil kemungkinan dilirik sama penggemar mobil tua,” jelasnya.
“Lalu, untuk mengantar anak-anak ke sekolah, belanja, mengantar pesanan-pesanan mami, mami harus naik apa, Pi?” tanyaku masih memprotes usulannya itu.
“Yaa, naik sepeda motor lah, Mi. Toh, mami dulu juga naik sepeda motor kemana-mana. Apa mami sekarang malu kalau harus naik sepeda motor lagi? Kalau mami malu dan tidak mau mengendarai sepeda motor lagi, mami bawa saja mobil papi, biar papi yang bawa sepeda motor.”
Jawaban kak Riko membuatku kecut.
“Mami nggak mau bawa omprengan begitu, papiii...” sungutku sebal dengan percakapan ini.
Bagaimana tidak sebal. Masih belum lama aku menikmati city car impianku ini setelah sebelumnya aku hanya mengendarai minibus second yang katanya mobil sejuta umat itu.
Memang sih, dulu aku pernah mengendarai sepeda motor, tapi itu dulu sekali, sebelum anak-anak bersekolah, juga sebelum aku berkutat dengan bisnis home bakery-ku ini.
Setelah bisnisku mulai berkembang, aku menukar mobil sejuta umat secondku itu dengan city car cantik yang telah sejak lama kuidamkan. Bangga rasanya saat mengendari mobil cantik ini.
Mobil cantik ini membuatku menjadi lebih percaya diri. Sejak saat itu, pergaulanku pun menjadi lebih luas. Bermula dari niatan ingin mengenalkan bisnis home bakeryku ke kalangan high class, aku malah jadi turut berkubang di dalamnya.
Bergabung dengan club-club para ‘the have’ itu dengan bangga kulakukan. Mendekati para sosialita, meski hanya menjadi bayangan mereka, sukarela kulakukan.
Dengan bermodal city car keluaran terbaru, yang bagi para mommy kaya itu mendapatkannya hanya seenteng menjentikkan jari, aku mulai mengekor mereka. Mengikuti berbagai kegiatan, khususnya arisan dengan nominal menakjubkan yang mereka selenggarakan, mulai merubah gaya hidupku.
Suamiku sempat protes dengan keputusanku mengikuti arisan-arisan itu, tapi selalu berhasil kubantah dengan alasan “Dapetnya gede, Pi.”
Huh, memang besar jumlah uang yang didapat ketika menang arisan, tapi biaya untuk persiapan arisan itu sendiri jauh lebih besar. Selain harus menyiapkan uang arisan berjumlah lumayan fantastis, urusan penampilan pun tak urung harus menguras isi kantong.
Bagaimana tidak, baju yang kukenakan pun haruslah yang terbaru, malu rasanya kalau memakai baju yang sudah pernah dipakai di acara arisan sebelumnya. Pasti ada saja omongan yang tak sedap didengar.
Mommy-mommy berduit itu pun tidak bisa dikelabui dengan merk-merk palsu. Tas-tas brandednya seharga jutaan rupiah, bahkan ada yang kabarnya sampai puluhan juta rupiah. Belum lagi baju dan sepatu merk ternama yang tak pernah absen mereka pamerkan, ditambah lagi perhiasan-perhiasan yang mereka kenakan, bunyi gemerincingnya bagaikan tamborin.
Kadang terbersit juga rasa heran, darimana saja uang yang mereka dapat? Kok seperti tidak ada habis-habisnya. Mungkin saja suami-suami mereka itu adalah tambang uang, keringatnya adalah uang, bahkan mungkin kalau sedang sakit pilek saja, ingus yang keluarpun berupa uang.
Meskipun untuk tetap bisa eksis mengikuti gaya hidup gemerlap mereka aku harus megap-megap mencari dana ekstra, bahkan terkadang sampai harus berbohong kepada kak Riko, tapi aku enggan untuk menyudahi. Aku mulai menikmati gaya hidup seperti ini.
Seperti kebanyakan perempuan kalau sedang berkumpul, kami tidak pernah lupa untuk selalu selfi-selfian di setiap kesempatan, lalu posting foto-foto tadi ke media sosial. Seruuu, bangga bisa unjuk diri kalau aku habis nongkrong di restoran mewah, juga di kafe-kafe keren. Rasanya ‘wah’ banget setelah nunjukin ke audience kalau aku baru saja menyantap hidangan-hidangan berkelas yang hanya dapat dijumpai di hotel bintang lima. Bangga, kan?
So, permintaan kak Riko untuk menjual mobilku sudah tentu kutolak mati-matian.
“Pokoknya mami nggak mau jual mobil mami!” ujarku dengan wajah cemberut.
“Kenapa sih, bisnis papi pailit terus? Cari pinjaman atau apa sana, tapi jangan jual mobil mami!” dengan semangat uring-uringan kuprotes kak Riko yang bisnisnya terlihat kekurangan dana itu.
Kulihat kak Riko hanya menghela nafas, dia diam tak berbicara lagi menghadapi aku yang tengah marah ini.
Apa kata sobat-sobat tajirku itu kalau aku membawa gerobak kak Riko? Terlebih lagi kalau aku hanya membawa sepeda motor, mereka pasti tidak akan sudi lagi menerimaku ke dalam komunitas mereka.
**

“Mama Farel, jangan lupa besok arisan di tempat mama Reyna, ya,” ujar mama Bella mengingatkanku.
Arisan yang ini adalah arisan lain yang kuikuti.  Arisan ibu-ibu biasa, hampir seperti arisan PKK ibu-ibu di komplek tempat tinggalku. Pesertanya adalah ibu-ibu dimana putra bungsuku Farel bersekolah. Selain untuk menjalin keakraban sesama wali murid, arisan ini juga digunakan ibu-ibu itu sebagai lapak bisnis.
Beraneka ragam barang dagangan saling mereka tawarkan, mulai dari kue-kue, makanan ringan, pakaian, jilbab, aksesoris, sepatu, tas, mainan anak, peralatan dapur, hingga barang elektronik.
Mungkin pada awalnya ibu-ibu ini menganggap semua aktivitas jual beli ini bisa menjadi salah satu cara untuk mendapatkan penghasilan tambahan.  Tapi apa jadinya ya, kalau semuanya jadi saling jual dan saling beli. Semua ini jadi tak lebih seperti ajang barter barang dagangan saja. Terasa konyol memang, terkadang sampai sesuatu yang tidak kubutuhkan sama sekali pun jadi harus kubeli.
“Buat apa lagi sih, Mi? Mau ditaruh dimana lagi?” protes demi protes suamiku sering kutanggapi dengan senyum datar saja.
**

Sepatu Syeila sudah terasa sesak dipakai, idem dito dengan sepatu Kayla yang selain sudah kesempitan bahkan terlihat sedikit jebol. Maka, pada akhir pekan itu kami memutuskan untuk berbelanja sepatu baru bagi kedua putriku itu.
Segera saja kami mulai asyik berburu sepatu di pusat perbelanjaan terbesar dan terbaru di kota kami.
“Mami, coba lihat-lihat yang di sebelah sana, deh. Lagi diskon besar,” kata kak Riko sambil menunjukkan deretan rak sepatu dengan papan bertuliskan ‘diskon 50%’ di bagian tengah sebelah atas rak sepatu itu.
“Iiihh, papi...masak beli sepatu diskonan seperti itu sih, itu kan sepatu model-model lama,” ujarku menolak usulannya itu.
Dasar suamiku itu maunya yang murahan saja, dia juga nggak paham dengan mode, batinku.
Tapi apa yang terjadi, kedua putriku justru menghambur ke papi mereka. Mereka terlihat asyik memilih-milih sepatu di rak diskonan itu. Huh!
Papinya anak-anak terlihat tersenyum memandangku. Kubalas pandangannya itu dengan senyum kecut.
Akan tetapi hal berbeda kulakukan saat berbelanja kebutuhan bulanan di supermarket. Trolly belanjaan itu kupenuhi barang-barang dengan harga promo. Berburu minyak goreng dengan harga termurah, memilih toiletris yang sedang banting harga hingga membeli susu berhadiah lunch box.
Kebiasaanku yang satu ini selalu ditertawakan oleh kak Riko.
“Ini bukannya diskonan semua, Mi?” tanya kak Riko menyindirku.
“Papi, nih. Ini semua kan barang habis pakai, Pi. Siapa juga yang mau memperhatikan, kita pakainya apa? harganya berapa?” jawabku.
“Nah, itu juga yang papi maksud, Mi. Tak perlu kita memusingkan apa kata orang tentang apa yang kita pakai. Tidak semua orang itu orang iseng yang suka memperhatikan apa yang digunakan orang lain. Ngerti maksud papi, Mi?” kata kak Riko membuatku sedikit berpikir akan ucapannya itu.
Sebetulnya aku paham dengan maksud perkataan kak Riko itu, tapi masih saja kubantah ucapannya itu.
“Kalau apa yang kita pakai itu terlihat ya harus diperhatikan dong, Pi. Belanjaan mami ini kan nggak kelihatan pemakaiannya. Siapa yang peduli mami goreng ayam pakai minyak goreng merk apa? Siapa juga yang mau nanya-nanya mami nyuci bajunya pakai deterjen merk apa? Nggak ada, kan, Pi?”
Kak Riko diam. Entah karena jawabanku yang tak terbantah atau karena dia tidak ingin terlihat ribut di tempat umum.
**

Malam itu, kembali kak Riko menyampaikan keinginannya untuk menjual mobilku. Tentu saja, kembali pula aku bersungut cemberut dibuatnya. Jawabanku masih tetap sama “tidak mau”.
“Oke. Nggak masalah kalau mami tetap tidak mau,” ucap kak Riko sangat tegas kali ini. Hal ini dapat kurasakan dari intonasi suaranya.
“Tapi mami harus bayar sendiri sisa angsuran mobil itu,” ujarnya kemudian.
“What?” aku terkejut mendengarnya. Tega-teganya dia. Suami macam mana ini?
“Penghasilan mami kan hanya cukup untuk modal beli bahan-bahan kue lagi, Pi. Pesanan kue Mami juga tidak terlalu banyak. Papi tahu sendiri, kan? Pesanan kue-kue Mami hanya ramai di bulan-bulan tertentu saja,” balasku.
“Papi, segenting apa sih permasalahan yang terjadi pada bisnis papi? Kok kekurangan uang sampai segitu parahnya?” aku bertanya seakan menyalahkan kak Riko yang tidak becus mengurus bisnisnya itu, sampai-sampai dia menuntut aku yang harus berkorban. Jengkel sekali rasanya. Tapi jawaban kak Riko betul-betul di luar dugaanku.
“Usaha Papi baik-baik saja. Bisnis Papi nggak bangkrut, Mi. Tapi akan segera menjadi bangkrut kalau saja Mami tidak juga mau berubah,” ujarnya membuatku agak bingung. Berubah yang bagaimana, maksud dia itu.
“Sekali ini saja, tolong dengarkan kata-kata Papi. Jangan dibantah dulu kalau Papi belum selesai bicara,” tegasnya lagi.
“Selama ini, siapa yang harus membayar angsuran mobil Mami? Papi, kan?”
“Selama ini, tetiba tanggal gajian karyawan Mami, Mami selalu bilang kalau pemasukan belum mencukupi untuk membayar mereka. Lalu, siapa yang selalu nombokin bisnis Mami ini? Papi, kan?”
“Selama ini, tetiba tanggal pembayaran angsuran pembelian alat-alat bakery mami itu, mami juga selalu mengatakan alasan yang sama. Lalu, siapa yang membayar, Mi? Papi lagi, kan?”
“Lalu, kemana hasil dari bisnis Mami selama ini?”
“Papi yakin, Mami habiskan untuk ikut arisan ini arisan itu yang sama sekali tidak pernah terlihat hasilnya itu. Mami juga pakai untuk beli ini beli itu yang lebih sering tak ada manfaatnya itu. Iya, kan, Mi?”
“Mami, Papi bukannya mau menuntut hasil dari bisnisnya Mami. Penghasilan dari bisnis mami adalah haknya mami. Namun alangkah baiknya jika Mami bisa bersikap bijak. Mami harus bisa memilah, mana yang penting, kurang penting, dan yang tidak penting sama sekali buat Mami. Mami harus bisa memahami mana yang baik, mana yang kurang baik, dan mana yang tidak baik sama sekali untuk Mami. Semata-mata untuk kebaikan Mami. Untuk Mami, bukan untuk Papi, Mi. Mami paham maksud Papi, kan, Mi?”
Aku hanya bisa tertunduk diam. Semua yang dikatakan kak Riko itu adalah kebenaran.  Benar adanya bahwa aku ini memang boros. Penghasilanku selalu habis demi menuruti gengsi. Gengsi kalau nggak gaul sama mami-mami gaul itu, gengsi kalau nggak pakai sandang berkelas, gengsi kalau nggak mengendarai mobil keren. Selama ini, aku selalu beranggapan bahwa aku bebas menggunakan pendapatanku karena itu memang hakku.
“Mami..” kak Riko menatap lekat-lekat mataku. Hal itu justru membuatku semakin menunduk. Tak berani kutatap kedua bola matanya itu.
“Bisakah Mami untuk tidak memikirkan apa yang disebut ‘apa kata orang’ itu? Apakah Mami bisa menjamin, bahwa orang-orang lain itu selalu memikirkan apa yang akan Mami pakai?  Enggak, Mi.
Jadi, berhentilah untuk selalu memikirkan apa kata orang, Mi. Bahkan, belum tentu orang lain-orang lain itu akan mengatakan hal yang kita pikir akan mereka katakan. Paham maksud Papi, Mi?”
Ingin rasanya aku menangis membenarkan semua ucapannya itu.
                              

“Jadi, boleh ya, Mi mobilnya dijual?  Atau Mami mau bayar sendiri sisa angsurannya?” kak Riko kembali bertanya.
Kuhela nafas ini dalam-dalam, mencoba meyakinkan kembali akan kebenaran  jawaban yang akan kuberikan.
“Dijual saja, Pi.” jawabku lesu dengan tetap menundukkan kepala ini.
Entahlah, sejak percakapan ini berlangsung, leher ini seakan tak sanggup untuk kutegakkan. Leher ini serasa turut merasakan malu atas segala tingkahku.
“Ikhlas, ya, Mi?” tanya kak Riko mencoba meyakinkan dirinya akan kebenaran jawaban dariku.
Aku hanya sanggup mengangguk mengiyakan. Bahkan menatap mata suamiku sendiri rasanya aku tak sanggup. Rasa malu yang hadir setelah ditunjukkannya segala kesalahanku olehnya, membuat lidahku kelu. Tak sanggup aku membantah setiap ucapannya kali ini, padahal biasanya aku selalu mendebatnya.
“Mami, mulai saat ini dan untuk seterusnya, kita harus lebih serius lagi memikirkan dan mempersiapkan masa depan anak-anak kita, Mi.”
Kak Riko tampak serius sekali dengan ucapannya kali ini.
“Rencana Papi untuk nanti kalau mobil mami jadi dijual, Papi akan membeli sebuah sepeda motor. Mami mau kan berkendara dengan sepeda motor lagi? Kalau Mami masih malu, Mami pakai saja mobil Papi, biar Papi yang bawa sepeda motor. Setuju, kan, Mi?”
“Sesudah itu, sisa uang yang ada ingin Papi bagi, Mi. Pertama kali untuk melunasi semua pinjaman-pinjaman Mami, lalu separuh sisanya gunakanlah untuk tambahan modal usaha Mami, kalau masih ada sisa lagi, ingin Papi buatkan tabungan pendidikan untuk anak-anak kita, Mi. Sepakat, ya, Mi?” pinta kak Riko.
Sekali lagi, aku hanya sanggup untuk mengangguk, sembari tetap menundukkan kepala ini.
Diluar semua rasa kecewaku yang pernah singgah padanya, harus kuakui bahwa kak Riko adalah suami tangguh yang Tuhan hadirkan untukku.
**

Dengan sistem oper kredit, akhirnya city car cantik itu berhasil dijual dalam tempo yang tak terlalu lama. Sebagai gantinya, kak Riko membelikanku sebuah sepeda motor matic lumayan cantik dengan warna merah yang cukup menarik.
Tidak seperti yang kubayangkan sebelumnya, ternyata semua berjalan biasa-biasa saja, tidak ada yang mencibir tentang kendaraan apa yang kupakai sekarang.
Benar sekali apa yang pernah suamiku katakan, bahwa apa yang kita khawatirkan akan dikatakan orang lain tentang kita, bahkan belum tentu dipikirkan oleh orang lain itu. Dengan kata lain, itu hanyalah prasangka buruk kita saja.
Terbukti, tidak ada suara sumir tentang kendaraan baruku ini. Kalaupun ada, aku bahkan tak ingin ambil pusing untuk menghiraukannya.
Dengan bersepeda motor, kini akupun merasakan nyamannya leluasa berkendara. Tentu saja, dengan bersepeda motor kini aku jarang terjebak kemacetan, karena dengannya bisa kulalui jalan-jalan kecil yang sebelumnya tak pernah bisa kulalui dengan kendaran roda empat.
Berkendara dengan sepeda motor juga menghemat pengeluaran. Bayangkan, dengan tujuan dan rute perjalanan yang sama, selisih jumlah bahan bakar yang harus dibelanjakan pun ternyata sangat signifikan bila dibandingkan berkendara dengan mobil. Belum lagi jika terjebak kemacetan. Berapa banyak bahan bakar yang menguap sia-sia? Artinya pula, berapa rupiah yang terbuang percuma?
Kini akupun tidak merasa gengsi lagi ketika harus menggunakan mobil lawas kak Riko untuk pergi berbelanja bahan-bahan kue, mengantarkan pesanan-pesanan kue, atau sekedar mengantar jemput anak-anak sekolah kala hujan turun. Tak kuhiraukan lagi tampilan luarnya, kini bagiku yang terpenting adalah fungsinya.
**

Kini, tak lagi pernah kurasakan resah seperti perasaan resah saat akan tiba tenggat waktu pembayaran hutang, karena hutang-hutang itu tak ada lagi.
Kini, aku juga tak perlu risau lagi memikirkan dari mana akan dapat suntikan dana untuk membayar arisan-arisan heboh yang justru membuat boros itu. Aku telah belajar untuk lebih selektif memilih arisan mana yang lebih bermanfaat untuk kuikuti.
Kini, aku juga tak pernah lagi merasakan gundah jika tak ada baju baru, tas baru, sepatu baru, dan perangkat sandang baru lain.  Aku juga sudah belajar untuk pintar mengkombinasikan ketersediaan sandang yang sudah kumiliki sehingga terlihat belum pernah kupakai.
Akupun kini telah belajar untuk bisa mengerem nafsu gila belanja itu. Kusadari, belanja itu memang mengasyikkan, tapi ternyata jauh lebih mengasyikkan kalau kita paham dengan kebutuhan berbelanja. Hal ini kusadari ketika pada suatu waktu disaat sedang kubongkar isi lemari, kudapati di sana banyak sandang, dan aneka pernak pernik yang baru satu kali kupakai, bahkan ada beberapa di antaranya yang bahkan belum pernah kupakai sama sekali, karena pada saat itu membelinya disebabkan oleh penyakit lapar mata, bukan karena kebutuhan.
Kusadari dengan bahagia kini, bahwa ternyata menjalani hidup dengan penuh kesederhanaan itu super nikmat. Sederhana itu ternyata sangat indah.
Merasa cukup dengan apa yang sudah kita miliki membuat hidup terasa lebih tenang dan kita akan merasa sangat nyaman menjalaninya.
Merasa tenang, karena tak ada tekanan-tekanan yang kerap membuat risau kehidupan, seperti hutang misalnya, entah itu berupa angsuran kredit mobil, rumah, dan berbagai penunjang kemewahan duniawi lain.
Merasa nyaman karena tak banyak beban pikiran yang menghimpit. Tidur di rumah sederhana terasa nyaman, mengendarai kendaraan sederhana pun rasanya baik-baik saja.
Hidup sederhana itu indah, karena kita tak lagi silau dengan kemewahan dunia yang semu. Kesederhanaan membuat kita dapat melihat keindahan di setiap hal yang tidak mewah sekalipun.
Menjalani hidup dengan kesederhanaan telah memberikan aku ruang untuk berpikir lebih dalam atas makna kehidupan ini.

(story 5, You Can Lean On Me)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara Merawat Buku yang Rusak Akibat Terlalu Lama Disimpan

4 Alasan Kenapa Harus Melakukan Pre-Launching Produk

Review: Biolage Scalp Refresher, Serum Rambut dengan Sensasi Dingin Menyegarkan