JUST ALL ABOUT CONSIST, MOM
Satu Cerita yang diambil dari Buku Kumpulan Kisah Inspiratif YOU CAN LEAN ON ME
“Jeng, gimana, minuman dietnya sudah habis belum?” tanya mbak Dipa.
“Belum,
mbak, tinggal sedikit lagi,” jawabku.
“Efeknya
sudah terasa kan, jeng? Itu produk bagus banget lho, jeng. Nanti kalau sudah
habis pesennya sama mbak lagi, ya,” ujar mbak Dipa berpromosi.
“Oke.”
kataku menutup perbincangan pendek itu.
Sebetulnya, ingin kukatakan bahwa produk diet dagangannya itu tidak
banyak berpengaruh pada program penurunan berat badan yang sedang kujalani.
Sudah harganya super duper muahal, hasilnya pun tidak seheboh
testimoni-testimoni yang disertakan diiklannya.
Menurut testimoni para pemakainya sih, katanya berat badan bisa turun
lebih dari 5 kilogram, bahkan ada yang bisa turun lebih dari 10 kilogram
setelah mengkonsumsi minuman tersebut hanya satu box saja, dengan anjuran cara
pemakaian yang tepat tentu saja.
Memang sih, berat badanku sudah mengalami penurunan sejak meminum
minuman diet itu, tapi cuma turun sekilo, ha...ha..padahal sudah hampir habis
satu box, lho. Tidak terlalu ngefek kan? Lebih tepatnya lagi, nggak ngefek sama
sekali buatku.
“Itu karena jeng Hana tidak mengimbanginya dengan olahraga teratur dan
banyak minum air putih,” jelas mbak Dipa ketika akhirnya kusampaikan juga
keluhanku saat jumpa dengannya di sekolahnya anak-anak.
“He..he..iya,
mbak, habisnya nggak suka olah raga, sih. Lagi pula mana sempet, mbak,” jawabku sambil nyengir.
Tentu saja, mbak Dipa pasti akan membela produk dagangannya itu
habis-habisan. Jadi, percuma saja jika aku memprotes ketidak ampuhan minuman
diet dagangannya itu.
“Kurang teratur olahraga bagaimana,” batin hatiku memberontak, sedangkan
aktivitas harianku itu saja bisa dikatakan sudah lebih dari olahraga. Selalu
bangun paling pagi, bahkan terkadang lebih pagi dari si kukuruyuk. Menyiapkan
sarapan pagi, langsung dilanjutkan beberes rumah. Kadang cuma sempat menyapu
saja, sih, tidak sempat mengepel lantai karena harus segera membangunkan
anak-anak, memandikan, sekaligus mendadani mereka supaya selalu tampil rapi
saat akan berangkat sekolah. Setelah semua siap, langsung memasukkan pakaian
kotor ke dalam mesin cuci, menghidupkan mesin itu kemudian kutinggal mengantar
anak-anak ke sekolah. Bahkan tidak sempat mandi pagi terlebih dulu. Iyaa, tiap pagi
memang begitu. Jarang sekali bisa mandi pagi saat akan mengantar anak-anak ke
sekolah mereka. Sepulang dari mengantar anak sekolah, biasanya langsung ke
pasar. Nah, aku merasakan sisi positifnya nggak mandi pagi itu tuh ya saat ke
pasar ini, jadi ‘feel free’, bebas pilih-pilih ikan tanpa khawatir sama bau
amisnya...he..he..
Sepulang dari pasar, setelah meletakkan belanjaan ke lemari pendingin,
barulah menjemur pakaian, dilanjutkan sesi olahraga berikutnya, yaitu mengepel
lantai. Mengepel lantai itupun baru aku lakukan kalau pulang dari pasarnya
tidak kesiangan, kalau kesiangan, yaa, acara ngepelnya lewat deh. Kok bisa
kesiangan ya? Yaa, bisa saja, karena terkadang suka lupa waktu kalau sudah
ngobrol-ngobrol dengan ibu-ibu di sekolahnya anak-anak..he..he..
Setelah semua beres, baru deh mandi pagi, terus bangunin si papa.
Kok sudah
sesiang ini baru bangunin papa?
Iyaa,
soalnya si papa jam ngantornya agak siang, jadi selepas sholat shubuh biasanya
dia terus tidur lagi. Aku tidak pernah memprotes kebiasaan bapaknya anak-anak
yang suka bangun siang ini karena dia kan kerjanya suka sampai malem. Nah,
ritual membangunkan si papa ini mesti dalam kondisi wangi, biarpun si papanya
bau jigong..hi..hi..
Mengambilkan handuknya, menyiapkan semua keperluannya, sampai menemani
sarapan pagi, semuanya mesti dilayani. Si papa memang paling manja. Lebih manja
daripada anak-anaknya.
Setelah si papa pergi kerja, baru deh dvd aerobik, salsa, zumba, dan
teman-temannya itu kusetel. Kuikuti seluruh gerakannnya dengan seksama dari awal
hingga akhir dengan kondisi pintu rumah terkunci rapat. Rasanya malu saja kalau
sampai ada yang memergoki aku sedang senam aerobik, berjoget salsa ataupun
berzumba ria, apalagi kalau yang memergoki itu si papa. Maluuu, habisnya si
papa suka ngledekin sih.
Melatih kebugaran dengan berolah tubuh seorang diri dengan panduan dvd
seharusnya rutin kulakukan setiap hari. Aku pasang target untuk bisa terus
menjalani senam ini secara rutin, setidaknya lima hari dalam seminggu mulai
dari hari senin hingga hari jumat (meskipun pada kenyataannya ternyata hanya
setengah rutin ..he..he..)
Dengan semua aktivitas tadi, aku masih dibilang kurang teratur olahraga?
Kurang apa lagi, coba? Mungkin perlu ditambah dengan jogging, ya. Tapi kalau
bukan pas hari libur mana sempat. Tapi nggak ada salahnya sih dicoba dulu,
setiap sabtu dan minggu pagi mulai rajin jogging. Maka segeralah kubulatkan tekad itu dalam
hati.
Dan di sabtu pagi yang ceria itu, kubangunkan si papa lebih pagi dari
biasanya.
“Pa, kita
jogging ke taman sama anak-anak, yuk?”
Kusampaikan
segera maksudku itu ketika kulihat si papa sudah mulai menggeliat terbangun
dari tidur nyenyaknya.
“Papa
sudah jogging tadi, ma,” jawabnya.
“Hah,
kapan? Kok mama nggak lihat papa pergi. Lihat papa bangun saja baru sekarang
ini, pa,” tanyaku tak percaya dengan ucapan suamiku itu. Dia pasti hanya
bercanda, batinku. Dan.... Benarlah dugaanku,
“Sudah,
Ma, barusan papa tadi jogging di dalam mimpi. Nih, masih ngos-ngosan nafas
papa,” jawabnya sambil menarik selimut dan kembali memejamkan matanya.
Kutinggalkan si papa dengan hati mendongkol. Dan kejadian persis sama
seperti itu terulang lagi keesokan harinya. Rasa dongkolku semakin
bertumpuk-tumpuk. Dasar si papa, paling males kalau diminta beraktifitas di
pagi hari.
Batal sudah niat untuk rajin jogging. Sebetulnya bisa saja aku berangkat
jogging seorang diri, tapi kalau papanya saja masih terlelap seperti itu, siapa
yang menjaga anak-anak?
**
Aerobik setengah rutin kujalani, keinginan untuk rajin jogging tiap hari
libur sirna sudah, yang ada badan
menjadi bertambah subur.
“Weekend
itu family time.” Begitu kata si papa. Jadinya ya, tiap hari sabtu atau hari
minggu itu adalah moment untuk keluarga, kumpul-kumpul bersama suami dan
anak-anak dalam suasana yang sedikit berbeda dari hari-hari biasanya, dan
kumpul-kumpul itu terasa tidak lengkap kalau tidak ada acara makan-makannya.
Entah itu masak sendiri atau jajan di restoran, pokoknya kalau weekend
masakannya harus istimewa. Istimewa itu adalah makanan yang kaya kalori
bertabur lemak, dan kalau anak-anak tidak menyantap habis makanan mereka, siapa
yang biasanya menghabiskan? Yaa.. Siapa lagi kalau bukan si mama..ha..ha...
Kalau begitu terus, semakin menggunung saja perut si mama.
Berat menanggung gendut ini, apalagi jika teringat celoteh si kecil kala
itu,
“Kakak,
kita mau punya adik lagi, ya?” tanya Dinda, putri kecilku kepada Nanda
kakaknya, dan Nanda hanya tersenyum saja sambil melirikku, bergantian matanya
memandangi perutku, lalu mataku, seakan menanti aku yang akan menjawab
pertanyaan adiknya itu.
Malangnya
aku, aku hanya bisa tersenyum kecut, sementara si papa cengar cengir meledekku.
Itu belumlah seberapa. Yang lebih sakit menusuk hati adalah ketika di
suatu kesempatan yang lain, ketika si papa berkata “Mama, kok sekarang perut
sama dada sama mancungnya ya?” wuaaaaa,
meskipun kutahu kalau itu hanya candanya, sakitnya itu lho, sampai menembus
ubun-ubun. Jadi kepikiran terus bagaimana caranya mengempeskan perut yang kian
membuncit oleh timbunan lemak ini. Pil diet, susu diet sampai korset pelangsing
yang harganya muahal selangit itu sudah kucoba semua. Hasilnya, nihil.
**
“Jeng Hana, minuman dietnya mau nambah lagi nggak? Khusus untuk
pembelian bulan ini ada bonus istimewa lho, jeng,” ujar mbak Dipa menawarkan
lagi dagangannya itu kepadaku.
“Oya,
bonus apa itu, mbak?” tanyaku
“Ini lho,
jeng Hana, beli satu box minuman pelangsing dapat bonus lima sachet susu ini,”
mbak Dipa menjelaskan sambil menunjukkan sachet susu berwarna jingga muda itu.
“Susu ini
banyak khasiatnya, jeng. Antara lain, menghindarkan dari penyakit osteoporosis,
membuat organ wanita kita sehat dan kulit menjadi putih merona,” jelasnya lebih
lanjut dengan penuh semangat dagangnya.
Ayaaiyaaa...
Aku mulai sedikit tergoda, nih.
“Jadi
berapa harganya, mbak, kalau sedang promo seperti ini?” tanyaku lagi.
“Masih
sama, jeng,” jawabnya singkat.
“Nggak
ada diskon nih, mbak?” tanyaku semakin penasaran.
“Ya,
nggak ada lah, jeng, kan sudah dikasih bonus. Ambil lagi, ya, jeng, minuman
dietnya,” katanya setengah mendesakku.
“Hmmm,
aku pikir-pikir dulu deh, mbak. Besok aku kabari ya, mbak,” ujarku kemudian
yang masih menimbang-nimbang antara keinginan dan ketersediaan dana.
“Sudahlah,
dibawa saja dulu barangnya,” mbak Dipa semakin mendesakku.
“Aduh,
mbak, hari ini aku hanya bersepeda motor, mana masih harus mampir ke pasar
dulu, takutnya nanti malah terjatuh dan hilang.” Akhirnya kutemukan jawaban
untuk menolak dengan halus desakannya yang maha kuat itu.
“Oke,
deh,” mbak Dipa menyerah kali ini.
Kurasa,
alasanku tadi cukup mengena.
**
Karena sedikit tergoda oleh penawaran mbak Dipa pagi tadi, maka
kukorek-koreklah semua dompet yang ada, memeriksa jumlah uang belanja yang
masih tersisa. Hmmm...sepertinya tidak mencukupi ini, tapi sayang kalau harus
menarik tabungan. Bisa-bisa si papa malah marah. Atau, lebih baik jika meminta
tambahan dana dari papa saja, ya. Tapii, nanti si papa malah jadi tahu kalau
aku lagi diet, nanti diledekin lagi deh. Haduuuh, maka berkecamuklah segala
ragu itu.
Tapi malam itu, sesudah selesai makan malam, saat si papa sedang santai
bersama gadgetnya, akhirnya jadi juga kusampaikan keinginanku meminta tambahan
dana kepada si papa untuk membeli minuman diet dagangannya mbak Dipa yang
menggoda itu.
“Jadi,
selama ini mama diet, ya?” tanya si papa dengan senyum nyengirnya.
“”Sudah
ada hasilnya belum? Kok masih seperti biasa?” senyum nyengirnya semakin
menjadi.
“Papa
kira kalau habis minum susu diet terus jadi kembali sweet seventeen, gitu.”
candanya.
Nyengirnya
itu lho, bikin senewen.
“Sudah
ah, pa, jangan bercanda terus. Mama serius. Mama baru mengkonsumsi sebanyak
satu box, jadi ya wajar dong kalau belum terlihat hasilnya,” sanggahku
memprotes candanya itu.
“Berapa
harga satu boxnya, ma?”
Akhirnya
pertanyaan yang kutunggu-tunggu itu keluar juga dari mulutnya. Lalu kubisikkan
harga minuman diet itu, dan persis seperti dugaanku, mata si papa langsung
melotot ke arahku.
“Mahal
banget, ma. Mama pernah membeli satu box. Dari mana dapat uangnya, ma? Kata
mama, uang belanja tidak pernah ada sisa, bisnis baju online mama juga sedang
tidak mama jalankan. Iya, kan, Ma?” Pertanyaan si papa segera menciutkan
nyaliku.
“Yaa,
dari menyisihkan uang belanja. Sebenarnya masih ada sisa sedikit sih, Pa. ”
Kujawab pertanyaan itu sambil tertunduk. Aku pasrah apabila si papa nanti akan
marah padaku.
Diam.
Kulirik
si papa. Dia balas melirikku. Kuturunkan pandangan mataku, masih takut si papa
akan meledakkan amarahnya.
“Memangnya
kenapa sih mama ingin diet?” pelan suara si papa.
Bayangan
amarah yang menggelegar itu segera sirna. Wajah si papa datar saja.
Tapi
pertanyaan itu cukup berhasil membuatku menitikkan air mata.
“Supaya
mama langsing lagi seperti dulu, pa,” jawabku dengan isak tertahan.
“Supaya
papa tidak melirik perempuan yang selangsing mama dulu, pa.” Kali ini isak itu
tak dapat kutahan lagi.
Membayangkan
betapa langsingnya aku dulu. Membayangkan betapa mesranya kami saat itu.
Si papa menggeser posisi duduknya mendekatiku, kemudian merangkul
pundakku, mendekatkan kepalaku ke pundaknya. Refleks, akupun menyandarkan
kepalaku ke pundaknya.
“Papa
nggak keberatan mama menjadi gendut, yang penting mama sehat. Mama menjadi
gendut karena melahirkan anak-anak papa. Bayangkan, di perut ini dulu ada Nanda,
kemudian Dinda, putri-putri cantik kita,” kata si papa sambil mengelus perut
buncitku.
“Pinggul
mama yang melebar, pantat mama yang jadi membesar, itu semua karena mama sudah
menjadi wanita sempurna buat papa,” katanya lagi sambil mencium keningku.
Berderai
air mata ini dengan isak-isak yang tertahan itu. Terharu banget dengan uraian
papa ini.
“Lagi
pula, kita ini sudah semakin menua, mama. Metabolisme semakin melambat lajunya.
Yang penting mama sehat. Itu saja yang papa minta dari mama. Papa tidak bisa
membayangkam bagaimana repotnya kalau sampai mama jatuh sakit,” lanjut si papa.
“Sudah,
nggak usah pakai mewek begitu,”katanya sambil melonggarkan pelukannya.
Kuhapus
air mataku. Kok jadi melow begini, ya. “Dasar cengeng” umpatku dalam hati pada
diriku sendiri.
Si papa
melanjutkan bicaranya,
“Mama kan
bisa tuh, menyisihkan uang belanja, teruskan saja, ma. Nah, kalau sudah
mencapai setengah dari harga treadmill yang waktu itu pernah kita lihat, nanti
papa tambahin, deh.”
“Papa mau
kita beli treadmill, ya, pa? Beneran, pa?” tanyaku setengah tak percaya dengan
ucapan si papa yang baru saja kudengar.
Keinginan
untuk membeli treadmill ini jauh hari yang lalu sudah pernah kusampaikan
kepadanya, tetapi kala itu si papa hanya berujar,
“Ah,
nanti juga cuma akan jadi pajangan.” Itu artinya si papa tidak setuju. Tapi
kali ini, aku seakan tidak percaya dengan apa yang baru saja dikatakannya.
“Bukan
agar supaya mama menjadi langsing, tapi supaya mama jadi rajin berolahraga,
supaya mama bugar dan sehat selalu. Lagi pula, supaya papa juga bisa ikut
olahraga kapan saja papa sempat,” jelas si papa seolah menghapus semua keraguan
dan ketidakpercayaanku barusan.
Aku
yakin, pada saat itu pastilah mataku memancarkan binar-binar kebahagiaan,
pastilah juga senyumku mengembang, ada kelegaan membuncah di hati dengan akhir
perbincangan kami ini.
**
Tepat sekali apa yang tersirat dari pesan suamiku tercinta, bahwa mama
itu tidak boleh sakit, karena mama adalah andalan anak-anak, karena mama adalah
andalan papa. Tak perlu berlapar-lapar hanya agar langsing. Kalau pola makannya
tidak tepat, berat badan malah akan jadi seperti permainan yoyo, naik turun,
naik turun terus. Belum lagi tekanan darah yang bisa turun drastis.
Berlapar-lapar
itu penderitaan. Bukan hanya derita perih menahan lapar, tapi juga derita dari
efek sambungannya.
Kata si papa, dalam keadaan lapar, tidak ada asupan nutrisi, sehingga
tubuh akan berusaha menghemat energi yang ada dengan cara menurunkan laju
metabolisme, termasuk juga menurunkan laju pembakaran kalori. Yang akan
terjadi, lemak malah jadi tidak terbakar. Belum lagi ditambah dengan faktor
usia, dimana memasuki usia tertentu, metabolisme tubuh mulai berjalan lamban.
Tak perlu langsing dengan cara yang tak benar bila dapat menyebabkan
sakit. Tak perlu juga buang buang uang untuk hal-hal yang belum pasti
manfaatnya.
Diet itu adalah masalah konsisten. Meskipun produk diet yang dikonsumsi
itu harganya selangit, entah itu pil diet, susu diet, korset pelangsing, atau
berbagai produk diet lain, kalau pemakaiannya tidak konsisten, apalagi diikuti
dengan pengaturan pola makan yang juga tidak konsisten, ya percuma saja.
Bisa-bisa bukan berat badan yang turun, tapi saldo tabungan yang terus menurun
jumlahnya...he..he..
Terus kalau membeli treadmill yang harganya tidak murah itu apa juga
bukan buang-buang uang namanya?
Akan jadi buang-buang uang kalau hanya jadi pajangan di rumah. Tapi akan
sangat terasa sekali manfaatnya kalau rutin dipakai. Sekali lagi, ini masalah
konsisten juga, sih. Tapi supaya aku tidak menjadi ragu dengan keputusan untuk
akan membeli treadmill, aku mencoba mencari perbandingannya. Coba dibandingkan
dengan kalau kita jogging di taman, di mana di sana penjual beraneka ragam
makanan menggiurkan bertumpah ruah, terutama di hari minggu pagi. Biasanya
sepulang dari joging, yang ada lapar mata, lapar perut, dan beraneka pemuas
lapar tersedia. Coba tebak apa yang akan terjadi? Yup, pulang jogging itu belum afdol kalau
belum membeli nasi uduk, lontong sayur, bubur ayam, dan berbagai kudapan lain.
Hitungan sederhananya nih, seandainya jogging selama satu jam itu mampu
membakar kalori sebanyak 300 kalori, tapi ketika setelah jogging kita langsung
menyantap nasi uduk plus gorengan penuh minyak, itu artinya kita memasukkan
lagi kalori ke tubuh kita kurang lebih sebanyak 600 kalori. Sama saja bohong, kan? Gimana mau turun berat badannya?
Tapi akan lain ceritanya kalau niat jogging itu buat refreshing,
menjalin kebersamaan dengan keluarga. Yaa, ‘lets do it’ saja. Malah bisa jadi alternatif pengisi family
time.
Back to treadmill. Yang pasti, kalau sudah ada alat itu, acara aerobik,
salsa, dan zumba ngumpet-ngumpetnya bisa kutinggalkan dulu..hi..hi..
Tapiii, selama menunggu uang terkumpul hingga bisa terbeli sebuah
treadmill, apa yang harus aku lakukan supaya tidak bertambah gendut? Apa harus
jadi super gendut dulu untuk bisa punya treadmill? Gundah itu kembali
berkecamuk, mengaduk-aduk pikiranku.
“Pa, selama belum ada treadmill, mama mesti gimana dietnya? Paling tidak
bagaimana menjaga agar tidak bertambah gendut, pa?” tanyaku yang pada akhirnya
menyampaikan juga kegundahan itu.
“Yaa, biasa saja, sih, ma. Kalau mama selama ini merasa sulit untuk
merubah pola makan, ya tidak usah dirubah. Tetaplah pada pola makan mama,
bagusnya sih dikurangi sedikit demi sedikit porsinya. Mama jangan tidak makan
nasi sama sekali, kalau mama sama sekali tidak makan nasi malah tidak bagus
jadinya, Ma, karena mama kan sudah terbiasa makan nasi dari kecil, nanti
sekalinya mama ketemu nasi lagi bersama lauk super enak kesukaan mama, bisa-
bisa mama jadi tidak bisa mengontrol diri. Inget, Ma, dendam yang seperti itu
justru bisa merusak.”
“Terus, Ma, mama tidak usah lagi menyediakan secara sengaja aneka stock
camilan, kecuali menjelang lebaran. Selama ini kan mama hobby banget tuh
nyetok-nyetok camilan, alasan mama, buat jaga-jaga kalau nanti ada tamu. Tamu
kita juga tidak tiap hari datang, Ma. Kalau pun ada tamu, belum pernah ada kan
ceritanya ada tamu kita yang sampai menghabiskan satu toples camilan? Selama ini
yang akhirnya menghabiskan stock-stock camilan itu siapa? Mama, kan? Kalau mama
tidak keberatan dengan saran papa, mulai sekarang mama tidak usah lagi membeli
stock camilan. Kalau ada tamu, pas ada camilan ya dihidangkan, kalau tidak ada
juga tidak apa-apa.”
“Terus, Ma, mama juga sebaiknya tidak usah lagi menghabiskan sisa
makanan Dinda yang tidak habis. Selama ini hal tersebut menjadi kebiasaan mama,
kan? Alasan mama, sayang, masih banyak kok dibuang. Kalau mama memang tidak
tega membuang sisa makanan Dinda, saran papa nih, Ma, mama sebaiknya jangan
makan dulu sebelum selesai menyuapi Dinda, karena kalau mama sudah makan dulu,
dan ketika makanan Dinda tidak habis kemudian mama yang menghabiskan, itu
berarti mama makannya jadi dobel- dobel, kan?”
“Satu lagi, Ma, mama masaknya sedikit-sedikit saja, cukup sekali makan
kita saja, Ma. Kalau masih ada sisa lauk kan biasanya mama yang suka
menghabiskan, alasan mama, sayang, sudah capek-capek masak, dan itu artinya
makan mama jadi tambah dobel, kan? Memang jadi terkesan pelit karena hanya
masak sedikit, tapi nggak apa-apa, yang penting cukup.”
Si papa ngomong panjang lebar dan aku hanya bisa tertunduk diam.
Meskipun panjang lebar seakan seperti ocehan, semua yang dibicarakannya itu
bener banget. Menohok banget. Tak ada satu bagianpun yang bisa kubantah.
Menjadi
tidak gendut itu sebenarnya sangat sederhana. Seandainya saja semua itu bisa
konsisten kulakukan, bahkan treadmill pun mungkin aku tak butuh.
Ah, papa, selama ini ternyata kamu memperhatikan kebiasaan-kebiasaanku
yang kurang baik, yang tak pernah kusadari betapa menyiksanya dampaknya itu
padaku.
Terima kasih papa. Mama sayaaang banget sama papa.
(Storry 2 You Can Lean On Me)
(Storry 2 You Can Lean On Me)
Sama mbaak aku juga pengen kurus huhuhu.. Naiknya sih ga drastis tp pelan2 tapi statis dan ga turun2, kepikira beli minuman sebox itu tp sayang duitnya wkwk
BalasHapushi...hi.. iya... karena pada dasarnya diet dengan metode apapun kalau nggak konsisten yang nggak bakal berhasil. Iya, pan, mbak?
Hapus