JEALOUS ITU NGGAK DELICIOUS
Dia masih cantik. Sangat cantik malah.
Padahal usianya beberapa tahun di atasku, tiga orang putranya pun sudah
besar-besar. Badannya masih saja langsing, seperti tak ada perubahan sama
sekali. Malah semakin bertambah cantik saja.
Bandingkan dengan diriku. Putraku baru
dua dan masih balita semua, tapi bentuk tubuhku sudah seperti ibu-ibu berputra
lima. Gendutnya minta ampun. Lebih tepatnya sih, hanya pipi yang tembem, lengan
yang gembil, perut buncit, paha yang kempal dan pantat yang lebar. Agak terlalu
hiperbola sih penggambaran tentang fisikku sekarang, tapi apalagi itu namanya
kalau bukan gendut. Perubahan fisik yang membuatku menjadi tidak begitu percaya
diri lagi.
Tiba-tiba dada ini menjadi bergemuruh.
“Mas Ivan tidak boleh tahu. Mas Ivan tidak boleh menemukan akun facebook
perempuan ini!” jerit suara hatiku.
Teringat
semasa remaja dulu, bagaimana mas Ivan yang meskipun sekarang telah menjadi
suamiku, tapi dulu begitu menginginkan perempuan itu.
Teringat
betul olehku, saat mas Ivan yang kala itu adalah sahabat kakakku, sering
meminta bantuan kakakku untuk membuatkan surat cinta bagi gadis pujaannya itu.
Aku tahu, karena waktu itu kakakku sering meminta pendapatku tentang isi
suratnya.
Masih terekam jelas olehku, bagaimana
girangnya mas Ivan ketika cintanya tak bertepuk sebelah tangan. Semua kisah itu
jelas masih membekas di memori otakku, terlebih karena sejak mas Ivan dekat
dengan perempuan itu, hubungannya dengan kakakku menjadi sedikit renggang,
waktunya dihabiskan untuk berduaan terus dengan kekasihnya itu, sedangkan
kakakku justru menjadi semakin dekat denganku karenanya.
Kenangan itu menari-nari di kepalaku,
dan hentakannya seakan menendang nuraniku. Aku tahu, aku sedang dilanda cemburu
yang amat sangat.
Tiba-tiba saja aku segera tergerak
untuk men-stalking akun facebook-nya
mas Ivan. Langsung saja kuintip daftar pertemanannya. Jantungku
berdentum-dentum tak beraturan, darah ini mendidih begitu cepat saat kutemui
profil perempuan itu berada di daftar pertemanannya. Itu artinya, mereka telah
terhubung kembali.
Tak kusangka, mas Ivan sudah berteman
dengan perempuan itu tanpa persetujuanku, padahal dia tahu, diantara beberapa
perempuan yang pernah dekat dengannnya, hanya dialah satu-satunya yang paling
tidak kusukai. Entah apa alasannya, aku begitu ‘illfeel’ dengan perempuan yang satu ini.
Berjuta rasa curiga langsung menderaku. Sudah berapa lamakah pertemanan di dunia maya
ini berlangsung? Kenapa mas Ivan tidak pernah menceritakannya padaku? Pasti ada
apa-apa diantara mereka. Sudahkah mereka bertemu secara langsung?
Membayangkan mereka berjumpa, bertegur sapa
mesra satu sama lain, saling mengingat kisah mereka di masa lalu?
Oh,
Tuhan. Aku tidak kuat membayangkan semua itu.
Begitu saja air mata ini berjatuhan
tak terbendung lagi. Kubantingkan badan suburku itu di kasur, kubenamkan wajah
sembab itu di antara bantal-bantal empuk di sana. Isak ini tak dapat
kukendalikan lagi. Semakin menjadi-jadi saja.
Putra-putra kecilku kubuat kebingungan
dengan keadaanku ini.
“Mama,
kenapa?” tanya si sulung yang belum genap empat tahun usianya itu.
“Mama
anis, mama atit, kakak,” dengan suara cedalnya itu, putra bungsuku berusaha
menjelaskan kondisiku kepada kakaknya.
Masih dengan terisak, segera kupeluk
kedua buah hatiku. Mereka tak akan pernah mengerti tentang sakit yang sedang
diderita oleh mamanya. Meskipun tidak memahami tentang apa yang terjadi dengan
mamanya, mereka seperti mengerti perasaanku. Tangan-tangan mungil keduanya
mengelus pelan rambutku. Bergantian mereka memelukku. Mereka berusaha
menghiburku, berusaha menghentikan tangisanku, persis seperti yang biasa aku
lakukan kepada mereka jika mereka menangis. Oh, sayangku, permata hati mama,
hanya kalianlah pelipur lara mama.
**
Sore itu mas Ivan pulang dan aku hanya
diam saja. Diam saat menyambutnya, diam saat mengambilkan pakaian gantinya,
juga diam saat menemaninya makan malam. Semua rutinitasku untuknya tetap
kujalani meskipun dalam diam, dengan wajah muram tentu saja.
Seharusnya mas Ivan menyadari bahwa
ada yang berbeda pada diriku, tapi dia cuek saja, seperti tidak terjadi
apa-apa. Sungguh kesal aku dibuatnya. Maka, akupun mulai uring-uringan dalam
diam. Maksudnya, meskipun tidak berbicara sepatah katapun, tapi semua kulakukan
dengan setengah mengamuk, pintu kamar kututup dengan keras, kursi kugeser
dengan kasar, perkakas dapur kuletakkan dengan serampangan sehingga menimbulkan
bunyi klontang-klontang. Tentu saja, aksiku ini cukup menarik perhatiannya
untuk segera menegurku.
“Mama kenapa, sih?” tanya mas Ivan
memprotes tingkahku itu.
Aku
masih tetap diam dengan wajah cemberut.
“Ditanya
kok diam saja, sih, Ma?” tanyanya sambil beranjak mendekatiku.
Masih
dengan aksi diamku, wajahku semakin mengerucut saja.
“Papa
salah, ya, Ma?”
Malah
kujawab pertanyaannya itu dengan berlari ke kamar dan membenamkan lagi wajahku
dalam bantal. Tangisku mulai pecah.
Bodohnya aku, menganggap seakan mas
Ivan bisa langsung mengetahui isi hatiku. Tapi bagaimana dia bisa tahu kalau
aku hanya diam saja, tak mengindahkan setiap penasarannya. Sama sekali tak
kusadari kebodohan ini karena aku telah larut dalam kubangan emosi.
“Mama kenapa, sih? Papa salah apa?
Ngomong dong, Ma,” tanya mas Ivan yang kini sudah berada di sampingku,
menyentuh pundakku, berusaha membalikkan tubuhku, tetapi aku justru semakain
kuat membenamkan wajah sembabku.
“Ya, sudah, kalau mama tidak mau
bilang ada apa,” kata mas Ivan sambil beranjak pergi meninggalkanku yang masih
terisak.
Laki-laki memang tidak peka
perasaannya. Dalam amarahku yang tidak jelas baginya ini, aku ingin dia datang
memelukku, tak perlu mendesakku dengan pertanyaan-pertanyaan yang belum siap
kujawab. Eh, dia malah pergi meninggalkan aku tanpa ada usaha menghibur sama
sekali. Apa semua laki-laki memang begitu? ‘Nggak peka’.
Isakku semakin menjadi. Aku tahu,
tangisku itu percuma saja, dia tidak akan pernah tahu ‘Ada apa?’ jika aku tidak
segera menjelaskan hal apa yang membuatku menangis. Baginya, tangisku mungkin
tanpa sebab, tapi bagiku, aku menangis disebabkan karena dia.
Maka, ketika aku sudah mulai bisa
mengendalikan isakku, kuhampiri mas Ivan yang tengah asyik dengan smartphonenya
itu. Melihat smartphone itu berada di tangannya, hatiku malah jadi tak tenang
lagi. Jangan-jangan dia sedang bertukar pesan dengan perempuan itu. Kukuatkan
hatiku, kumantapkan langkah kakiku mendekatinya. Aku mulai duduk disampingnya.
Kulirik dengan ujung mataku smartphone itu, ada kelegaan bahwa ternyata dia
hanya sedang membaca sebuah berita di surat kabar online.
“Sudah nangisnya? Ada apa sih, Ma,
pakai nangis-nangis nggak jelas gitu?” tanya mas Ivan sambil meletakkan
smartphonenya.
Aku
memulai lagi aksi cemberutku, tapi kali ini kubulatkan tekad untuk bertanya
perihal pertemanannya dengan perempuan itu di dunia maya.
“Memangnya salah, ya, Ma? Papa kan
nggak ada apa- apa lagi sama perempuan itu.” Mas Ivan bertanya sambil juga
membela dirinya.
“Salah !” sangat yakin aku
menjawabnya, dengan intonasi tinggi pula.
“Papa
kan tahu kalau mama paling tidak suka dengan perempuan itu. Harusnya papa
bilang dulu sama mama.” Suaraku semakin meninggi penuh emosi, seraya menahan
tangis yang hampir meledak lagi. Aku memang cengeng, dengan hal yang remeh
temeh saja aku mudah mengalirkan air mata, apalagi dengan hal yang sangat
sensitif seperti ini.
“Memangnya papa harus selalu lapor
dulu sama mama dengan siapa saja papa berteman?” suara mas Ivan mulai meninggi
juga.
“Dengan perempuan itu, ini harus, Pa.” Tak dapat kutahan lagi emosiku. Kesal, marah, sedih, bercampur menjadi satu.
Bulir air mata itu mulai menetes di pipi.
“Papa tak habis pikir, picik sekali
cara berpikir mama,” ucap mas Ivan sambil pergi meninggalkanku yang masih
terisak.
Tangisku semakin menjadi, air mata
deras membanjiri. Cushion yang tadi
kupeluk itu, kini basah sudah karena tangisku.
Mas Ivan memang tidak berperasaan.
Meskipun kesal, tidak seharusnya dia begitu saja meninggalkan aku. Membelaiku
saja tidak, apalagi memelukku. Padahal hanya itulah yang kubutuhkan saat sedang
kesal seperti ini.
Sekuat tenaga kuredakan tangisku,
berjalan memasuki kamar tidur Adit dan Alif, kedua putra kecilku. Kupandangi
mereka yang tengah tertidur pulas. Hanya ada kedamaian yang kutemukan di
wajah-wajah imut itu. Bergantian, kukecup kening mungil mereka, lalu perlahan
kurebahkan badanku di antara keduanya. Malam ini, aku hanya ingin tidur bersama
kedua malaikat kecilku ini. Tak peduli dengan mas Ivan yang juga tak peduli
dengan perasaanku, biarlah dia tidur sendiri saja malam ini.
**
“Mama masih marah?” mas Ivan bertanya
dengan menyunggingkan senyumnya.
Aku
hanya tersenyum kecut, diam tak menjawab pertanyaannya itu.
“Mama,
mama, seperti anak kecil saja. Sudah, jangan ngambek lagi,” ujarnya enteng
sambil mencium keningku sebelum pergi bekerja.
Begitu santainya dia menanggapi
permasalahan ini. Kesal, marah, sedih berkumpul menjadi satu kembali, tapi kali
ini aku hanya diam saja, berusaha menahan emosiku demi menjaga suasana hatinya
di pagi ini.
**
Baru saja kututup pintu ketika
kusadari smartphone mas Ivan tertinggal. Kuamati benda itu, tergelitik untuk
mengambilnya. Tak hanya itu, kuperiksa setiap pesan yang ada. Jantungku seakan
berhenti berdetak ketika kujumpai pesan singkat itu. Sebuah pesan sederhana,
tapi bagaikan belati tajam yang menghujam jantungku.
“Apa kabar, Indah? Kamu tak banyak
berubah, ya. Masih saja cantik seperti dulu. Semakin dewasa, semakin memesona
saja.”
Ah,
kamu bisa saja, Van.”
“Sekarang
tinggal dimana, In?”
Bla......bla......bla......
Mata ini berkaca-kaca membaca pesan singkat itu. Mas Ivan sungguh keterlaluan.
Tega-teganya dia memuji wanita lain.
Tak berapa lama, kudengar suara pintu
pagar yang sedang dibuka. Mas ivan kembali, dia pasti sudah menyadari bahwa
smartphonenya tertinggal.
Segera
kubukakan pintu, dan aku yang saat itu tak dapat menahan emosi, segera
meluapkannya.
“Apa ini, Pa?” singkat saja pertanyaan
yang kuutarakan dengan penuh amarah itu.
Mas
Ivan tidak menjawab. Direbutnya smartphone itu dari tanganku. Aku tak dapat
menahannya, mungkin karena aku kurang kuat menggenggam benda itu.
“Mama jangan kekanak-kanakan, ya,”
ucapnya sambil memandangiku dengan tajam, lalu secepat kilat pergi lagi
meninggalkanku yang hanya bisa diam membeku menatap kepergiannya.
Ingin kuledakkan tangisku lagi kalau
saja tidak kudengar suara Adit dan Alif memanggilku. Kuhampiri mereka. Segera
aku tenggelam dalam aktifitas pengasuhanku. Sejenak kulupakan kesedihan ini.
Adit dan Alif benar-benar pelipur lara yang sempurna bagiku.
**
Karena tak dapat menahan lara ini,
sengaja kujumpai kak Juna, kakak semata wayangku. Kuceritakan seluruh gundah
yang sedang menimpaku. Kutanyakan, seberapa jauh hubungan mas Ivan dengan
perempuan itu di masa lampau. Walaupun akan terasa sakit mendengarnya, aku
mencoba untuk siap.
“Ah, itu hanya perasaan cemburumu yang
berlebihan saja, Mbim,” ucap enteng kak Juna. Kak Arjuna biasa memanggilku
Mbimbim, padahal namaku sangatlah cantik, yaitu Dewi Arimbi, seperti nama tokoh
pewayangan.
“Iya, aku tahu aku cemburu. Wajar, kan
Kak, namanya juga cinta,” ujarku membela diri.
“Cemburu itu wajar, karena cemburu
adalah cinta. Yang bisa merusak itu adalah cara yang buruk saat menghadapi
cemburu. Ya, seperti caramu itu, Mbim. Uring-uringan nggak jelas.” Kak
Juna berucap sambil menatapku lekat.
“Tahukah kamu, Mbim, bahwa rasa yang
selalu mengikuti kemanapun cemburu pergi itu adalah curiga. Mereka seperti tak
dapat dipisahkan. Saat cemburu datang, pasti ada curiga disitu. Jika cemburu
itu adalah rasa sayang, maka curiga adalah rasa tak mau kehilangan,” ujarnya
lagi. Matanya mulai menerawang, tak lagi menatapku seperti tadi. Entah apa yang
sedang dibayangkannya.
“Kamu cemburu karena tak ingin
kehilangan Ivan yang kau kira telah kau menangkan hatinya itu, kan?” tanyanya
kemudian.
“Aku memang benar-benar telah
memenangkan hatinya, mas. Sampai kemudian perempuan itu datang lagi,” jawabku
penuh dengan rasa geram yang kutahan.
“Aku takut akan kehilangan hatinya,
Kak,” lanjutku.
“Kamu akan benar-benar kehilangan
hatinya kalau tetap kamu teruskan model cemburumu yang seperti itu. Memang
betul jika dikatakan cemburu itu adalah rasa takut akan kehilangan, tapi
cemburu yang berlebihan justru akan menyebabkan kehilangan. Kakak tahu kamu
sedang marah, tapi yakinlah, marahmu itu
bukan karena buruknya keadaan, tapi sekedar karena suasana hatimulah yang
sedang buruk. Sekarang pulanglah, temui keluargamu, bicarakan baik-baik apa
yang menjadi ganjalan hatimu itu dengan suamimu. Jangan terbawa emosi,” kata
kak Arjuna memberikan sarannya.
**
Seperti tak pernah terjadi apa-apa, sore itu kami sudah bersikap seperti biasa. Ini semua karena anak-anak yang saat ini sedang sangat manja dengan
kami. Adit selalu mengikutiku dan menirukan semua hal yang kulakukan, sementara
Alif selalu menempel pada papanya. Dengan suara cedalnya yang lucu, apa saja
bisa menjadi pertanyaan, dan papanya selalu menanggapi semua celoteh anak itu.
Rasanya tak ingin merusak kedamaian
ini. Tapi bayang-bayang perempuan bernama Indah itu terlalu mengusikku. Tak
dapat kutahan gelisah ini bila tak ada kejelasan mengenai hubungan mas Ivan
dengan perempuan itu. Kucoba untuk mengikuti saran kak Arjuna, maka kuberanikan
diri membahas hal itu lagi dengan suamiku itu. Dengan sangat berhati-hati,
karena takut kembali larut dalam emosi.
“Kalau memang bisa membuat mama lega
dan tidak uring-uringan lagi, akan papa hapus pertemanan papa dengannya. Akan
papa hapus nomer kontaknya dari telepon selular papa.”
Aku
tak menduga, juga tak percaya dengan yang kudengar pada ucapannya itu.
“Tapi sebelum papa hapus, ada yang
ingin papa tunjukkan sama mama,” katanya membuatku penasaran.
“LIhatlah dia, Mama. Perhatikan
foto-fotonya!” Pinta mas Ivan. Pikiran negatif itu masih menguasaiku saat mas
Ivan membuka facebook perempuan dari masa lalunya yang bernama Indah itu, dan
memintaku untuk mencermati album fotonya. Untuk apa mas Ivan memintaku untuk
memperhatikan foto-foto perempuan yang sangat tidak kusukai itu? Meskipun
dengan rasa cemburu yang sangat panas membakar, tetap kulihat juga foto-foto
itu.
“Dia cantik ya, Ma? Mama cemburu
karena dia cantik, kan?” pertanyaan suamiku itu bagaikan mata pisau yang
menancap di jantungku.
“Tapi bagi papa, tidak ada yang lebih
cantik selain mama.” Mas Ivan mulai dengan rayuan gombalnya.
“Sini, Ma,” ujarnya sambil menarik
tubuhku untuk lebih mendekat lagi kepadanya.
“Lihat foto-foto ini dengan seksama,
Ma. Dia terlihat begitu bahagia dengan keluarganya. Coba mama perhatikan
foto-foto mesra dia dengan suaminya, juga dengan anak-anaknya. Cermati ekspresi
bahagia keluarga itu. Apakah mungkin dia akan meninggalkan semua itu hanya demi
papa yang tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan semua kebahagiaan yang telah
diperolehnya itu?” tanya mas Ivan kepadaku dengan raut wajah yang serius.
Kupandangi foto-foto yang diupload
perempuan itu di akun facebooknya. Wajah-wajah ceria penuh dengan kegembiraan
dengan latar belakang tempat-tempat liburan terkenal di luar negeri.
Disneyland, menara Eiffel, patung Liberty, air terjun Niagara, pantai
Pattaya. Ooh, keluarga bahagia ini telah
berkeliling dunia, mengunjungi tempat-tempat indah yang bahkan memimpikannya
saja aku tak pernah.
Kemudian mas Ivan beralih ke akun
facebooknya. Dia membuka album foto miliknya, memperlihatkan kepadaku foto-foto
yang telah dipostingnya.
“Lihat, Ma. Perhatikan dengan cermat
ekspresi wajah papa di setiap foto yang ada. Saat papa menggandeng mesra tangan
mama, menggendong penuh sayang Adit dan Alif, meskipun hanya berlatar belakang
halaman rumah kita. Papa nampak sangat bahagia, kan, Ma? Jadi, untuk apa papa
mengorbankan kebahagiaan yang tiada tara ini hanya untuk perempuan lain yang
bahkan tidak pernah mengharapkan papa.” Mas Ivan menatapku lekat ketika
mengatakan semua itu.
Tiba-tiba aku malu harus mengakui
bahwa aku malu kepada mas Ivan. Menyadari betapa kelirunya aku. Perang batin
dalam diriku akibat cemburu yang keliru ini telah meluapkan emosiku dengan
tidak terkontrol. Seluruh rasa cemburu itu benar-benar telah menyita
perhatianku dan menguras tenagaku untuk hal-hal yang sebenarnya tak perlu ini.
Kuteteskan air mata ini, menyadari
betapa konyolnya aku yang telah marah pada mas Ivan hanya karena dia telah
bertemu dengan kekasih masa lalunya di dunia maya.
Berderai air mata ini, menyadari
betapa bodohnya aku, telah mencurigainya dan meragukan cintanya yang luar biasa
ini kepadaku.
Rasa cemburu ini sungguh terlalu. Tak
henti-hentinya kukutuk diriku sendiri. Rasa cemburu itu sungguh tidak nyaman.
Gelisah terus, curiga terus, galau tak berkesudahan. Nggak enak banget.
“Mama masih cemburu sama papa? Orang
nggak ganteng gini kok dicemburuin,” ujar mas Ivan memaksaku untuk tersenyum
dengan kalimat yang baru saja diucapkannya.
Aku diam menatapnya. Sambil
menggenggam tanganku, mas Ivan berkata,
“Itu
nggak perlu, Ma. Percayalah dengan papa. Di hidup papa, hanya ada mama dan
anak-anak. Seluruh perjuangan papa, hanya untuk mama dan anak-anak.”
“Papa seneng deh dicemburuin sama
mama. Papa jadi ge-er, nih. Papa jadi semakin yakin kalau mama tuh sayang
banget sama papa, cinta banget sama papa. Tapi besok-besok jangan seperti itu
lagi, ya. Senep mata papa lihat mama mewek melulu, mama juga capek kan? Rugi, Ma, buang-buang air mata mama. Janji,
ya, jangan mewek-mewek lagi,” lanjutnya berujar sambil menyentil mesra hidungku
yang memerah itu.
**
Termenung merenungkan semua yang baru
saja kulewati, semakin mendewasakan pikiranku akan dalamnya makna mencintai dan
dicintai.
Setiap
cinta itu memiliki setetes cemburu di dalamnya, tetapi tetesan cemburuku
terlalu banyak, membanjiri sanubariku, hingga hampir saja merusak nalarku.
“Banyak cinta yang datang sekedar
menghampiri, tetapi hanya cinta mama yang bisa menetap dan papa merasa nyaman
menjadi orang yang mama cintai,” ucap mas Ivan sambil membelai mesra rambutku.
Ya. Mulai saat ini dan untuk
seterusnya, aku harus selalu mempercayai suamiku yang telah berjuang hanya
untuk aku dan anak-anak kami.
Ya. Mulai saat ini dan untuk
seterusnya, aku harus mengikhlaskan seluruh masa lalunya. Aku harus membesarkan
hati untuk tidak mempermasalahkan segala kejadian yang telah terjadi di masa
lalunya.
“Tak perlu lagi mama memikirkan hal
yang selalu membuat mama sedih. Hanya akan membuat tidak nyaman hidup ini, Ma.
Karena hidup hanya satu kali, mama lebih pantas tersenyum daripada menangis,”
ucapnya sambil mengecup penuh kasih kening ini.
Kusadari sepenuhnya kini, bahwa rasa
cemburu ini sungguh keliru, membuat segalanya terasa tak nyaman, tapi ternyata
aku memerlukan singgahnya rasa cemburu ini untuk menyadari semuanya.
(story 3, You Can Lean On Me)
Komentar
Posting Komentar