KETIKA ANAK KITA MENJADI KORBAN BODY SHAMING




"Bunda, Adek ni jelek ya, Bunda?"
"Ya enggak lah. Adek cantik."
"Tapi temen Adek bilang kalau Adek jelek."
Lalu meluncurlah cerita-cerita pembully-an yang dilakukan oleh teman-temannya (kebanyakan sih yang laki-laki).
"Adek dikatain item, kiting, jelek!" ucapnya dengan raut sedih.

Deg!! Apalagi saya, ibunya. Jauuuh lebiih sediih. Rasanya pengen marah dan memaki-maki anak yang meledek gadis kecil saya.
"Siapa nama temen Adek yang bilang begitu? Anaknya siapa?" Pertanyaan itu nyaris keluar dari mulut saya, tapi untunglah masih bisa saya tahan.
Saya nggak ingin anak saya tumbuh menjadi seorang pembenci.
Kemudian saya raih tubuhnya, saya tatap matanya, dan saya elus kedua pipinya.

Hal pertama yang harus saya lakukan adalah membuatnya bisa menerima kondisi dirinya dengan baik.
"Rambut Adek kan memang keriting, tapi Adek cantik dengan rambut seperti itu. Banyak lho, orang yang kepengen rambutnya dikeriting."
Lalu saya ceritakan bahwa sewaktu muda dulu saya juga pernah punya keinginan buat ngeritingin rambut. Dia pun tersenyum.
"Kulit Adek juga memang lebih gelap dari Bunda dan mbak Bebi (kakaknya), tapi Adek sama sekali nggak jelek. Adek cantik dan jauh lebih sehat. Adek tahu nggak, kalau orang yang kulitnya gelap itu nggak gampang sakit, lho. Seperti Bopo (panggilan untuk bapaknya), Adek juga nggak mudah sakit, kan?" Lalu saya cium keningnya.

Ya. Ketika anak mendapat perlakuan body shaming, memang sebaiknya kita tidak menyangkalnya (apabila memang kenyataannya demikian).
Selama ini, banyak orangtua yang salah kaprah. Misalnya, ketika anaknya yang gendut dikatain gendut sama temannya, si orangtua menghiburnya dengan mengatakan, "Enggak, kok...kamu nggak gendut." Ini respon yang keliru. Bagaimana anak akan bisa menerima kondisi dirinya kalau kita sebagai orangtua justru menutupi kebenaran?

Demikian juga yang saya lakukan kepada anak saya ketika tubuhnya dihina. Saya mencoba membuat dirinya bisa menerima kenyataan dengan benar. Kenyataannya, dia memang berambut keriting dan berkulit gelap seperti bapaknya.

Sekarang ini body shaming memang banyak dilakukan tanpa basa-basi sama sekali. Belum lama ini saya juga kerap mendapatkan perlakuan sejenis, terutama pas mudik lebaran kemarin. Kemana pun, di mana pun, ada saja yang berkomentar,
"Kamu kok sekarang gendut, sih?"
"Ya ampun, bisa juga ya body-mu jadi melar begitu?"
Bla...bla...bla... dan berbagai komentar dengan inti yang sama.
Apakah saya marah?
Ya, enggak. Wong kenyataannya body saya memang melar😄😄😄
Saya makhlum, mereka yang udah lama nggak ketemu sama saya pasti bakal takjub melihat saya yang sekarang. Ya wajar, mereka kan dulu mengenal saya yang berbody kurus, tinggi, dan langsing😜😜
Saya yakin, mereka yang melontarkan kalimat-kalimat itu bukan sedang bermaksud menghina. Hanya spontanitas saja.
Meskipun demikian, kalau seandainya saya nggak siap mental, bisa jadi saya bakal terisinggung. Untungnya saya sadar kalau sekarang ini saya emang ya "gendut"🙈🙈🙈
See???

Intinya adalah bisa menerima kondisi diri yang sebenarnya. Jadi ketika anak kita jadi korban body shaming ini, kita nggak perlu mengelak dan justru mengatakan yang sebaliknya.
Katakan saja kondisi tubuhnya yang sebenarnya. Kalau gendut ya bilang aja gendut. Kalau kulitnya hitam ya bilang saja hitam.

Tapi ingat, jangan membuatnya terpuruk dengan kondisi dirinya. Katakan juga kelebihannya yang bisa membuatnya jadi percaya diri. Misalnya anak saya yang berkulit gelap itu. Saya katakan padanya bahwa orang yang berkulit gelap itu nggak gampang sakit. Saya katakan pula padanya bahwa hitam itu bukan berarti kotor. Warna kulit apa pun, bisa kok bersih. Jadi yang saya tekankan adalah BERSIH-nya, bukan warnanya.

Sebagai orangtua, sebaiknya kita sampaikan juga ke anak, bahwa kita nggak bisa "request" bentuk tubuh kita sama Allah. Pemberian Tuhan itu adalah anugerah yang harus disyukuri dan dijaga.
Kuatkan hati anak, tumbuhkan rasa percaya dirinya. Dan ajak dia untuk bisa mengambil hikmah dari kejadian yang baru saja menimpanya itu. 

Katakan padanya untuk selalu menjaga lisan, karena kadangkala meskipun tidak bermaksud menghina, ucapan yang tidak terkontrol bisa melukai orang lain. Ajak anak untuk tidak mudah melontarkan komentar pada bagaimana pun anehnya bentuk tubuh orang lain.

Ditulis oleh bunda Rara R untuk seluruh orangtua di negeri ini.

Komentar

  1. Terima kasih bunda Rara atas sharingnya. Sangat bermanfaat. Apalagi saya pernah jadi korban. Itu membuat saya sangat down. Tapi makin dewasa, saya jadi lebih menghiraukan perkataan mereka. Masuk kuping kanan, keluar kuping kiri biar gak sakit hati wkwk

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara Merawat Buku yang Rusak Akibat Terlalu Lama Disimpan

4 Alasan Kenapa Harus Melakukan Pre-Launching Produk

Review: Biolage Scalp Refresher, Serum Rambut dengan Sensasi Dingin Menyegarkan